= Banjarbaru, tahun 2020 =Yun merasa dadanya sesak dan kepalanya ringan saat berhadapan dengan Bu Wid di ruang dosen. Perbaikan yang diminta sudah dikerjakan semaksimal mungkin. Ia rela tidur lewat tengah malam selama berhari-hari demi menyelesaikan proposal tepat waktu.
Dosen cantik yang wajahnya banyak diwariskan ke Faisal itu terlihat serius membaca naskah Yun. Kacamata yang sedikit melorot dan alis bertaut semakin menambah kesan seram. Beberapa kali ia menghela napas panjang. Tindakan kecil itu membuat anak bimbingannya semakin berkeringat dingin.
"Dasar teorinya kurang kuat. Pelajari lagi jurnal-jurnal lain. Jangan ambil yang bahasa Indonesia saja. Jurnal bahasa Inggrisnya mana? Saya sudah minta kamu ambil beberapa yang dari luar. Kalau begini kan jadi mengambang."
Yun hanya menatap nanar. Setelah sepuluh kali bolak-balik, masih belum benar juga?
"Jangan cuma bengong. Dengarkan saran saya baik-baik, lalu dijalankan. Kalau bimbingan cuma melongo saja, lalu yang saya minta tidak dikerjakan, buat apa kamu bolak-balik ketemu saya? Coba, dibandingkan yang kemarin, mana perubahannya?" cecar wanita paruh baya itu. "Nah, lihat di halaman ini, kamu cuma membolak-balik kalimat. Teori yang harusnya kamu masukkan belum juga dicantumkan. Sebenarnya apa yang sudah kamu kerjakan seminggu ini?"
Yun menunduk. Ia sudah berusaha sangat keras. Namun, tetap saja kurang. Ia mulai dirayapi rasa putus asa. Kalau seperti ini, jangan-jangan ia tidak bisa wisuda tepat waktu.
Oh, tidak! Tidak boleh itu terjadi! Tanpa terasa, air mata mengalir di pipi Yun.
Melihat mahasiswanya menangis, Bu Wid semakin kesal. "Kok malah nangis? Apa skripsimu bisa selesai dengan menangis? Daripada mewek-mewek di depan saya, lebih baik kamu pergi ke perpustakaan. Baca buku. Baca jurnal."
"Maaf, Bu," sahut Yun dengan suara bergetar.
"Ya sudah, perbaiki lagi. Minggu depan, waktu ketemu saya lagi, harus sudah ada referensi bahasa Inggrisnya."
Yun mengangguk dan mohon diri. Otaknya terasa penuh. Tiba-tiba saja ia sulit berpikir. Namun, ia meneguhkan hati untuk mengikuti saran Bu Wid, pergi ke perpustakaan.
Suasana perpustakaan lengang seperti biasa. Apalagi saat ini sedang jam kuliah. Hanya ada dua mahasiswa tengah melihat-lihat isi rak buku. Yun pun menuju ke bagian di mana buku-buku promosi kesehatan dipajang.
Ia mengambil sebuah. Tiba-tiba seseorang berada di seberangnya. Seorang pemuda seumuran, dengan wajah tirus dan mata sayu. Kulitnya putih mirip orang bule. Ia tidak ingat pernah berjumpa orang ini sebelumnya. Apakah mahasiswa baru?
"Udah, pulang aja. Kamu sia-sia di sini. Nggak ada ilmu yang cocok dengan topik kamu."
Yun malas menanggapi. Tanpa menjawab, ia pergi ke meja dan mulai membaca buku. Pemuda itu mengikuti, lalu duduk di seberang Yun sambil menyilangkan lengan di depan dada.
"Ya udah, kalau nggak percaya coba aja. Baca tuh buku. Pasti nggak dapat apa-apa."
Yun menunduk dengan wajah cemberut. Merasa diperhatikan terus, ia berpindah meja. Malang, lelaki itu terus mengikuti. Sekali lagi, Yun berpindah tempat, namun orang aneh itu kembali mengikuti.
"Kenapa ngikutin aku?" protes Yun pada akhirnya.
Ia hanya dijawab dengan tawa panjang.
"Hus! Nggak boleh nyaring-nyaring di sini!" sergah Yun.
"Siapa bilang? Boleh, kok! Aku akan teriak!" Mulut berbibir pucat itu terbuka.
"Diam!" cegah Yun dengan panik. Ia tidak mau menjadi pusat perhatian bila orang ini berteriak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Magamon Insaf
RomanceMagamon. Manusia Gagal Move On. Faisal Elvano, dokter ahli jiwa sekaligus dosen FK, telah menyandang gelar itu sejak cinta pertamanya kandas lima belas tahun yang lalu. Sekarang usianya 33 tahun dan masih belum ada tanda-tanda ia akan melepas masa l...