19. Seismograf (1)

314 83 47
                                    


= Banjarmasin, 2036 =

Pulang dari RSJ sore ini, Faisal harus menjenguk pasien di sebuah rumah sakit swasta di Banjarmasin. Tidak seperti dokter yang lain, Faisal memilih tidak praktik mandiri di sore hari karena lebih senang menekuni dunia riset dan pengembangan ilmu. Selain itu, ia membutuhkan waktu untuk diri sendiri.

Berkeliling seorang diri menggunakan mobil adalah hobinya. Dulu, ada seorang gadis cantik yang diajak berkeliling menyusuri jalanan kota yang padat. Sejak gadis itu tidak di sisinya lagi, ia hanya pergi sendirian. Kendaraannya telah berganti beberapa kali, namun penumpangnya tak pernah berubah, yaitu kenangan.

Setelah berpisah dari Yun, Faisal sebenarnya bukan menyiksa diri menjomlo bertahun-tahun. Saat kuliah, ia sempat memiliki kekasih. Seorang teman seangkatan di fakultas kedokteran. Hubungan seumur jagung itu putus saat KKN. Sang kekasih tergaet lelaki dari fakultas lain yang satu regu dan satu tempat tinggal. Perpisahan kedua itu tidak terlalu menyakiti Faisal. Ia malah lega, terbebas dari perempuan tidak setia.

Percobaan kedua, ia menerima perjodohan yang diatur kakeknya. Jaringan rumah sakit milik sang kakek akan melebarkan sayap. Demi menarik cucu lelaki satu-satunya ke dalam bisnis keluarga, Faisal dijodohkan dengan putri rekan kongsi sang kakek. Faisal tidak keberatan karena gadis itu cantik, cerdas, dan bisa memahami jiwa sombongnya. Masalah datang saat mereka merencanakan pernikahan. Faisal tidak mau pindah ke Jakarta, malah menuntut calon istrinya ikut ke Banjarmasin. Mereka akhirnya memutuskan berpisah. Kegagalan ini pun tidak membuat guncangan yang berarti selain sedikit rasa sesal karena menyebabkan sang kakek masuk rumah sakit.

Sejak itu, Faisal tidak memiliki apa pun selain kenangan manis bersama Yun. Ah, tidak ada yang bisa menandingi Yun. Selamanya.

Selesai menjenguk pasien, Faisal membelokkan mobil memasuki Jalan Gatot Subroto. Entah mengapa, kali ini hatinya ingin melintasi jalan tersebut. Mobil melaju perlahan, sengaja untuk membangkitkan kenangan lampau.

Banyak kisah manis bersama Yun di jalan ini. Kepala gadis yang rebah di punggung, lengan halus yang melingkar di pinggang, oh, Faisal masih mengingatnya dengan sangat jelas. Sayang, seiring kenangan manis, mencuat pula memori kelabu. Bila sudah begitu, ia hanya bisa menghela napas berat berkali-kali.

Mobil Faisal membelok ke sebuah resto. Halaman resto itu luas. Sebagian di-paving, sebagian dilapis batu kerikil. Bangunan utama sudah berubah banyak sejak enam belas tahun yang lalu. Dulu, rumah makan ini berupa gedung panjang bertiang kayu. Halamannya hanya diperkeras dengan pasir. Meja-meja kayunya dilapis taplak plastik putih sekali pakai untuk memudahkan pembersihan sisa makanan. Kursinya hanya kursi lipat sederhana. Bagian pemanggang berada di depan sehingga para tamu disambut asap panggangan beraroma sedap. Saat datang, mereka menghampiri tempat memanggang tersebut untuk menentukan ikan atau bahan makanan yang diinginkan. Ikan-ikan itu masih mentah, baru akan dimasak setelah dipilih pembeli.

Setelah enam belas tahun, pengelolaan restoran ini semakin maju. Terlihat dari bangunan yang telah berubah menjadi resto mewah dengan halaman yang asri. Setelah enam belas tahun pula, Faisal baru berkunjung lagi ke tempat ini.

Seorang petugas membukakan pintu kaca bagi Faisal. Sekarang, resto itu menggunakan pendingin ruangan, padahal dulu hanya kipas angin gantung yang bunyinya sangat ribut. Ada doorman dan petugas front office. Tidak ada lagi panggangan berasap. Hawa yang menerpa di ruangan itu beraroma harum seperti resto-resto mewah. Begitu pula penataan ruang. Indah dan nyaman. Mengagumkan.

"Sudah reservasi sebelumnya, Pak?" sapa petugas front office, seorang wanita cantik yang ramah layaknya pegawai hotel.

"Belum."

Magamon InsafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang