5. Nomor Telepon

375 66 11
                                    


= Banjarmasin, 2020 =

Sabtu yang cerah. Faisal sudah rapi dan ingin menjemput Sopian. Mereka akan naik ke Bukit Matang Kaladan. Obyek wisata pemandangan Bendungan Riam Kanan itu tidak jauh dari Banjarmasin, hanya sekitar satu jam perjalanan.

Sayang, Ismet jatuh sakit. Sejak dua hari yang lalu, ayah tiri Faisal itu demam tinggi. Setelah diperiksa Widya, ternyata Ismet terkena radang tenggorokan dan kambuh penyakit kencing manisnya. Widya wanti-wanti agar Faisal tidak pergi-pergi untuk menjaga sang ayah. Widya sendiri harus datang ke kampus karena menjadi narasumber seminar ilmiah.

"Mama nggak akan lama. Begitu sesi Mama selesai, Mama akan segera pulang," ujar Widya.

Faisal kontan manyun. "Aku juga ada janji sama teman, Ma. Papa kayaknya udah baikan. Tadi kan udah bisa jalan dan makan sendiri."

"Iya, tapi masih demam. Nungguin sebentar kenapa, sih? Biar begitu, papa kamu itu udah berjasa menjaga kamu dari kecil. Masa nggak mau berkorban sedikit?"

Faisal tidak menjawab. "Yang punya suami siapa, sih?" gumamnya sambil meletakkan kembali sepatu yang batal dikenakan.

Widya mendengar keluhan itu. "Apa kamu bilang?" tanyanya dengan alis tertaut.

Faisal malas menanggapi. "Nggak ngomong apa-apa, kok. Mama aja sensi."

Widya mengeluh dalam hati. Kapan Faisal bisa menerima kenyataan bahwa Ismet sekarang adalah ayahnya? Mengapa mempunyai anak satu saja begitu susah diatur? Kalau bukan karena terpepet waktu, Widya pasti akan menasehati Faisal panjang lebar.

Faisal kembali ke kamar dan membanting diri ke kasur. Langit-langit kamar itu telah menjadi saksi kisah hidupnya yang carut marut. Ia bosan tinggal bersama mama dan papanya. Satu-satunya harapan agar terbebas dari impitan orang tua adalah dengan kuliah ke luar kota. Namun, pilihan ini pun sesulit mencabut bulu hidung. Widya dan kakeknya ingin Faisal masuk fakultas kedokteran, sedangkan Faisal sendiri lebih suka desain grafis. Sudah bisa diduga, akan ada pertarungan sengit yang menghasilkan nyeri dan air mata, seperti saat bulu hidung dicabut.

"Sop, batal. Kada kawa keluar aku," ujar Faisal melalui telepon. (tidak bisa)

"Yaaaah!" Sopian mengeluh panjang.

"Kalian pergi aja. Papaku nggak bisa ditinggal."

"Ya udah. Baik-baik jagain papamu. Eh, kamu ditanyain Noni terus."

Entah mengapa, Faisal terbayang wajah ayu yang ditemui di teras rumahnya. Mendadak ia merasa malu. "Bilang sama Noni aku udah mau dikawinin."

"Heeeh? Bujur-bujur ikam!" (Yang bener aja kamu!)

Faisal terbahak. "Udah, ah. Aku udah tobat, nggak lagi-lagi ke sana."

"Amiiiiiin!

Sambungan telepon ditutup dan Faisal kembali rebahan di kasur sambil memainkan game di ponsel. Belum sempat menyelesaikan satu permainan, teleponnya berdering. Widya menghubungi.

"Sal, tolong antar hardisk eksternal Mama yang ketinggalan di meja kerja," perintah wanita itu.

"Diantar ke mana, Ma?" tanya Faisal dengan malas-malasan.

"Ke tempat seminar, di kampus Mama. Cepetan!"

"Loh, lalu papa ditinggal?"

"Udah, penting nih. Papa udah baikan, nggak papa ditinggal sebentar."

Faisal kontan manyun panjang. "Kalau ada maunya aja Mama biang gitu."

"Cepet berangkat, tapi jangan ngebut," ujar Widya lagi.

Magamon InsafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang