47. Berjumpa Takdir

341 96 79
                                    


= Banjarmasin, 2021 =

Senyum Faisal terkembang begitu cuaca terik menyengat Banjarmasin menerpa kulit saat ia menuruni tangga pesawat. Dengan berjalan cepat, ia menuju bus yang mengantar mereka ke terminal kedatangan. Ia sengaja tidak membawa bagasi. Toh pulang ke rumah sendiri, buat apa membawa baju? Cukup sebuah ransel berisi laptop dan kotak cokelat, hadiah untuk Yun.

Faisal dijemput Ismet karena ibunya tengah menguji mahasiswa. Tak banyak yang mereka bicarakan selama perjalanan, hanya berbasa-basi saja. Begitu sampai rumah, ia langsung mengambil sepeda motor, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, memacu kendaraan itu menuju rumah ibu angkat Yun. Suryani berjanji akan mengantar Faisal ke rumah nenek Yun. Menurut keterangan Suryani, ceweknya itu sekarang berada di Basarang, di tanah kelahirannya.

Dalam benak Faisal, terbayang bagaimana mata bulat Yun melebar saat membuka dan mencicipi cokelat pemberiannya. Cokelat itu istimewa dan harganya tak tanggung-tanggung. Untuk Yun, masa diberi yang murahan?

Ada sebuah mobil terparkir di halaman rumah Suryani. Seorang lelaki paruh baya duduk sambil merokok di teras rumah. Faisal belum pernah melihatnya.

Mungkin karena mendengar suara sepeda motor, Suryani muncul sebelum Faisal menapaki lantai teras. Begitu melihat pemuda itu, Suryani langsung menangis. Hati Faisal yang semula berbunga, kontan mengerut.

Ada apa ini?

"Faisal, oh, Faisal. Kamu datang," ucap Suryani sembari sesenggukan. Diraihnya cowok itu ke dalam pelukan. Ia menangis sejenak dalam rengkuhan Faisal.

"Bu?" tanya Faisal. Entah mengapa, ia mengendus firasat buruk yang membuatnya mulai berkeringat dingin.

Suryani melepaskan pelukan, lalu menangkup pipi Faisal. "Ibu terharu, Faisal," ujarnya.

Yang diajak bicara hanya mengerutkan kening. Suryani berusaha tersenyum sambil menghapus air mata.

"Sudah hampir setahun dan ternyata kamu menepati janji. Tetap datang dan setia pada Yun," ujar Suryani, lirih.

Ada sedikit rasa lega saat Faisal mendengar pujian itu. "Ah, pasti dong, Bu!" jawabnya dengan bangga.

"Ibu sudah menyewa mobil buat ke Basarang supaya kita bisa berangkat dengan santai," kata Suryani. Ia memperkenalkan Faisal pada bapak yang menunggu di teras tadi. "Ini Pak Dedi, yang akan mengantar kita."

"Kalau tahu begitu, saya tadi bawa mobil papa," kata Faisal, agak tidak enak hati karena lagi-lagi merepotkan Suryani.

"Ah, jangan. Ini memang sudah niat hati Ibu. Anak-anak Ibu sudah mandiri semua dan selalu mengirim uang setiap bulan. Buat apa uang Ibu menumpuk tidak dipakai?"

"Ah, Ibu bisa aja."

Suryani tersenyum kembali. "Yuk, parkir motormu di halaman belakang, lalu kita berangkat."

Tak lama kemudian, mobil pun melaju ke arah luar kota. Suryani berusaha bersikap setenang mungkin dengan terus bertanya kegiatan Faisal di Jakarta.

"Gimana ujianmu?" tanya Suryani.

"Kalau saya bilang sih, saya bisa," jawab Faisal, penuh percaya diri.

"Oh, ya? Syukurlah. Terus, kapan kamu tes masuk perguruan tinggi?"

"Dua bulan lagi," jawab Faisal. Ia menoleh dan menemukan aura aneh pada wajah Suryani. Mulutnya terbuka hendak bertanya, tapi kalah cepat dari wanita itu.

"Kamu sudah siap ujian lagi?"

Faisal meringis. "Harus siap, dong. Itu masa depan saya dan Yun. Saya udah mencari tempat bimbel di Bandung. Nanti habis dari sini, saya pindah ke Bandung buat les."

Magamon InsafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang