43. Terpencil

291 72 33
                                    

= Area perkebunan sawit PT. SS Jaya[1], Kotawaringin Barat, tahun 2021 =

Yun duduk menunggu ibunya di dapur. Mereka tinggal di rumah panggung yang terbuat dari kayu. Satu bangunan terdiri atas sepuluh unit rumah petak. Ada puluhan bangunan serupa di daerah itu. Kompleks perumahan pekerja kebun sawit itu dihuni ratusan pekerja dan keluarganya.

Aroma rebusan rempah-rempah menguar hingga ke ruang tamu. Rumah petak yang satu unitnya hanya terdiri atas dua kamar itu dipenuhi aroma ramuan yang terbuat dari akar-akaran dan kulit kayu. Menghirup uapnya saja pangkal lidah terasa pahit. Bisa dibayangkan bagaimana bila jamu tradisional itu ditelan.

Sudah beberapa hari Yun harus menjalani "pengobatan" dari orang pintar. Saat dijemput dari Pegatan tempo hari, ia langsung diantar ke seseorang di daerah Kapuas. Ia disuruh mandi kembang tujuh rupa saat tengah malam selama tujuh hari berturut-turut. Bersamaan dengan itu, ia hanya boleh mengenakan baju putih-putih dan makan nasi putih serta minum air putih. Nasinya hambar. Sekadar diberi garam pun tidak diizinkan. Alhasil, Yun merasa sangat lemah. Saat ini tubuhnya meriang seperti akan flu.

Setelah syarat tujuh hari itu, ia harus menjalani tirakat dan mandi di sungai tiap hari sampai empat puluh hari.

Ibunya, Artini, mengambil air rebusan yang tengah menggelegak itu, lalu menuangnya di dalam gelas.

"Ini, diminum sampai habis," perintahnya.

Tangan Yun sedikit gemetar saat menerima ramuan itu. Ditiup-tiupnya beberapa kali agar dingin. "Bu, kapan aku diantar ke dokter?" tanyanya lirih.

Yun ingin ke dokter, karena itu berarti keluar dari kompleks perkebunan sawit. Keluar ke kota berarti mendapat sinyal 4G lancar. Selama di kamp ini, ia hanya bisa berkirim sms dan telepon. Itu pun harus pergi ke pinggir kompleks agar mendapat sinyal. Bila tersambung, seringkali kata-kata yang diucapkan Faisal terdengar terputus-putus.

Yun sempat kesal pada Faisal karena masalah minum obat. Tapi setelah beberapa hari tinggal di kamp ini, ia teringat cowok itu terus. Akhirnya ia kirim pesan berisi permintaan maaf. Sejak itu mereka kembali seperti dulu, mesra.

Oh, Yun kangen wajah ganteng cowok itu. Bibirnya yang kemerahan dan matanya yang bulat. Yang pasti, ia merindukan gombalan receh Faisal.

"Kata bapakmu nggak usah. Kemarin kan udah minta suntik sama mantri klinik," kilah Artini, perempuan berusia empat puluh tahun itu. "Kalau kamu lemes, besok kamu pergi ke klinik lagi."

Yun malas pergi ke mantri. Selain takut disuntik, ada penyebab lain. Untuk mencapai klinik milik perusahaan itu, mereka harus berjalan melewati mes untuk karyawan yang belum menikah. Di situ banyak karyawan pabrik CPO[2] yang bekerja dengan sistem sif. Bila pagi begini, ada saja pekerja sif sore yang nongkrong di teras mes. Mereka selalu usil bila Yun lewat. Ada yang memanggil-manggil, ada yang suit-suitan.

Yun ngeri. Si pemuda perpustakaan selalu ada di tengah-tengah mereka, menyeringai dengan sorot mata melecehkan. Pasti pekerja-pekerja sawit itu sudah tahu penyakitnya dari si pemuda. Kalau tidak, mengapa mereka begitu meremehkan dirinya? Bahkan Yun tahu dalam hati mereka membisikkan, "Anak lonte, anak lonte, anak lonte!"

"Tapi dia cuma perawat, bukan dokter," kilah Yun.

"Tunggu hari Rabu, jadwalnya kunjungan dokter dari klinik induk."

"Tapi ... dia dokter umum, bukan dokter jiwa." Yun belum menyerah.

"Halah, paling-paling obat dari dokter jiwa sama. Obat kakakmu yang lebih parah saja sama."

Yun melengos dengan tatapan kosong mengarah ke pintu belakang. Di kejauhan ia melihat pemuda dari perpustakaan tengah berlari-lari dan tertawa dengan beberapa anak kecil. Yun tidak tahu anak-anak dari mana mereka. Memang benar, selama pengobatan dari orang pintar, pemuda itu hanya berada di kejauhan, tidak berani mendekat. Barangkali ibunya benar, ia tidak membutuhkan psikiater lagi.

Magamon InsafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang