35. Cemburu (1)

287 80 50
                                    


= Banjarmasin, 2036 =

Faisal masih menatap Yunida yang balas menatap dengan tajam. Ya, ya. Gadis ini bukan Yun-nya yang kalau dipandang tersipu-sipu. Yunida memang bisa tersipu, tapi cuma sekian detik. Sesudah itu, ia bisa membalas dengan tingkah yang kadang membuat jantung nyaris copot dan harga diri sebagai Raja Ngeyel terinjak-injak. Seperti saat ini, Yunida merengut maksimal. Faisal terpaksa meminggirkan mobil, kemudian parkir di pinggir jalan. Tidak baik menunda urusan antara lelaki dan perempuan, bukan?

"Oooo, gini nih yang namanya emosi?" ejek Faisal.

Mata bulat Yunida mengerjap. "Abang! Aku serius marah, nih. Aku marah!"

"Oooo! Terus apa hubungannya sama aku? Kalau mau marah, marah aja."

Mata Yunida semakin terbeliak. "Aku marah sama kamu, Bang!" Kesal sekali ia, ditanggapi enteng begitu saja.

Faisal mengangkat alis. Senyumnya terkembang. Tingkah itu seperti bilang, Emang gue pikirin?

Yunida menyilangkan lengan di depan dada, lalu mendengkus. "Ayo ceritain pacar-pacarmu dulu! Mulai dari orang yang punya nama Yun itu," tuntutnya.

"Enggak usah. Ceritanya pasti bikin kamu bosen."

"Sok tahu!"

"Loh, cerita soal Yun berarti aku cerita soal kamu, 'kan? Kamu nggak bosen dengar cerita diri sendiri?"

Yunida belum menyerah. Ia teringat rumah ibu angkat Faisal dan mulai berpikir untuk mengunjungi rumah itu saat ada kesempatan. "Jangan remehin aku, Bang. Aku bisa cari tahu sendiri. Terima kasih!"

"Terima kasih kembali! You're welcome! Udah emosinya? Kita mau ke mana?"

Yunida memutar tubuh menghadap ke depan. Dari samping terlihat mulutnya yang manyun panjang.

Faisal gemas luar biasa. Dengan cepat, dicondongkannya tubuh ke arah Yunida. Pipi gadis itu diraih sehingga wajah bulat telurnya menghadap tepat di depan hidung Faisal.

"Boleh?" bisik Faisal. Embusan napasnya menyapu wajah bening Yunida.

Yunida yang terkaget hanya mengangguk kecil. Detik berikutnya, bibir mereka telah tertaut.

Mereka tidak jadi pergi nonton. Siapa yang membutuhkan bioskop di saat seperti ini? Malam yang gelap tanpa sinar rembulan, bahu jalan yang lebar di depan sebuah kantor yang tutup menyembunyikan keduanya dengan sempurna sehingga mereka bisa membuat film sendiri.

☆☆☆

Yunida sibuk mengerjakan laporan jaga di ruang Koas. Ia kesal karena semalam sulit berkonsentrasi. Ciuman Faisal membuatnya terbayang lelaki itu sepanjang malam.

"Laporanmu udah kelar?" tanya Arman.

Aroma sabun dan parfum maskulin menyerbu penghidu Yunida. Ia kontan menoleh. Mantan pacarnya itu telah duduk di sebelah dengan menatap dalam. Hanya ada mereka berdua di ruangan itu. Entah ke mana Koas yang lain. Mungkin di sarapan di kantin.

Yunida jelas menjadi jengah. Dulu, ia ditinggalkan saat sedang sayang-sayangnya. Kata Arman, ibunya lebih suka gadis lemah lembut dan penurut, sehingga ia memilih Safitri sebagai calon istri. Safitri adalah adik kelas satu tingkat di bawah mereka. Memang benar. Safitri--sesuai namanya yang berarti lembut dan suci--tidak pencicilan dan pengeyelan seperti dirinya.

"Ngapain lihat aku kayak gitu? Kalau Safitri tahu apa nggak cemburu?" sergah Yunida.

Arman berdecak. "Apa urusannya sama Safitri? Apa aku salah kalau deketin kamu? Laki-laki kan boleh punya istri empat."

Mata Yunida terbelalak. Tak habis pikir bagaimana ia dulu bisa terpikat dengan cowok ini. Pantas ayahnya bolak-balik menasehati agar jangan terlalu serius dulu, takut nanti tidak cocok lalu sakit hati.

Ternyata perkataan orang tua itu banyak benarnya. Semula ia tidak percaya. Sekarang telah terbukti Arman bukan penganut monogami.

"Boooleeeh! Mau sepuluh juga terseraaah! Tapi aku mau jadi istri satu-satunya, ya! Dengar dan ingat baik-baik, kamu nggak masuk hitungan!"

Arman berkedip genit. "Itu kan sekarang. Ntar sebelum keluar dari stase di sini, dijamin kamu bakalan nyariin aku terus."

Yunida menggeser duduk ke kursi sebelah, menjauh dari Arman. Lelaki itu mengikuti, lalu melongok untuk melihat tulisan Yunida. Sesuatu membuatnya tertarik. Diambilnya laporan Yunida tanpa permisi.

"Ini pasien yang mana?" tanyanya.

Yunida kesal, namun malas berdebat sehingga ia biarkan saja kelakuan si mantan. "Pasien yang datang tadi malam."

"Oh, mas-mas yang gaduh gelisah itu?"

"Iya. Aku dapat yang itu, 'kan? Kamu dapat pasien satunya, cewek umur tujuh belas?"

"Iya. Tapi kok aneh. Nih aku baca, ya. Nama pasien, Faisal Elvano ...."

Yunida kontan terbelalak. "Apaaaa?"

Arman mundur, lalu membalik kertas laporan Yunida di depan dada sehingga Yunida dapat membacanya. "Ini! Faisal Elvano kan bunyinya?" Sesudah berkata begitu, ia menjauh dengan cepat.

"Balikiiiiiiinn!" pekik Yunida dengan panik.

"Bilang dulu, kamu suka Dokter Faisal?" cecar Arman.

"Bukan urusanmu!"

"Hmm, pantas kamu seneng cari perhatian dia. Ternyata ...." Arman langsung kabur karena yakin Yunida akan menghajarnya.

"Ternyata apa? Cari perhatian apa? Kembalikan laporanku!" Yunida mendadak menjadi beringas. Habis sudah kesabarannya. Dikejarnya lelaki itu ke sudut ruang.

Melihat gejala Yunida mengamuk, Arman tidak menghindar lagi. Kertas Yunida diserahkan. Gadis itu segera mengambil dengan kasar, lalu berbalik hendak pergi. Malang, cengkeraman Arman menahan pergelangan tangannya. Bukannya menjauh, ia malah berbalik dan tertarik mendekat.

Yunida kontan berusaha menarik tangan kembali. Sayang, upaya itu sia-sia. Cengkeraman Arman terlalu keras.

"Da, aku masih sayang kamu. Sayang banget. Jangan tinggalin aku sama orang lain, please ...."

"Arman! Apa-apaan sih kamu?" Yunida kembali menarik tangannya. Kali ini sukses terlepas dari cengkeraman Arman.

"Dokter Faisal itu nggak bakalan suka sama kamu. Dia itu-"

Hati Yunida mulai terbakar. "Dia itu apa? Dia kenapa?"

"Ah, kamu pasti udah dengar gosipnya. Selera Dokter Faisal itu batangan," ucap Arman sembari meringis.

"Sok tahu!" sergah Yunida. Ia yakin sekali Faisal tidak seperti yang dituduhkan. "Mana buktinya kalau dia kelainan?"

Arman mengedikkan bahu. "Nggak ada, sih. Aku kan bukan mata-mata dia. Kamu beneran suka?"

"Udah kubilang bukan urusanmu!"

"Udah jangan mikirin dia. Masa nggak ada sisa perasaanmu buat aku? Kalau kamu maksa, aku putusin deh si Safitri." Arman berusaha lembut demi mengelus hati Yunida. Namun ternyata ia salah strategi.

Yunida emosi maksimal. Tangan terangkat hendak meninju lelaki tak tahu malu itu. Belum sempat bogemnya mendarat di dada Arman, cowok itu bergerak lebih gesit. Lengannya ditangkap dan dicengkeram kembali. Bersamaan dengan itu, sebuah suara menyeruak dari arah pintu masuk di belakang mereka.

"Dokter Faisal vis ...!" Lengkingan Dita--koas yang satu regu dengan mereka--terputus saat tahu apa yang terjadi di dalam ruang. "... sit ...," lanjutnya dengan bergumam.

Cengkeraman Arman terlepas. Posisinya saat itu tepat menghadap pintu sehingga tahu siapa yang datang. Wajah lelaki itu kontan tegang.

Yunida membalikkan badan. Matanya berkunang ketika menemukan siapa yang berdiri di belakang Dita. Siapa lagi kalau bukan pacarnya, Dokter Faisal Elvano?


////////////////

Faisal cemburu nggak yaaaa? Jangan lupa komen, yak

Magamon InsafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang