Yun bergegas ke parkiran tanpa menghiraukan tatapan keheranan orang-orang. Tangannya menutup telinga, berusaha meredakan denging yang membuat pusing. Selain itu, ia merasa pikirannya tersiar ke mana-mana. Semua orang sekarang dapat melongok isi kepalanya.
Tidaaakkk! Jangaaannn!
Yun berlari menuju parkiran. Begitu sampai, ia segera mengeluarkan kunci. Malang, tangan yang gemetar membuat kunci itu terjatuh ke kolong sepeda motor.
Aaaaargghhh!
Dengan susah payah, Yun menunduk untuk menjangkau kunci. Saat bangkit, seseorang mendekat.
"Hey! Ngapain nangis? Revisi lagi?"
Yun terbelalak saat tahu yang berbicara itu si pemuda aneh di perpustakaan. "Pergiiii!" serunya.
"Apa kubilang. Kamu nggak bakalan diwisuda!" tukas pemuda itu.
"Diam!" sentak Yun.
Tiba-tiba, bahunya disentuh. Yun menoleh. Ternyata Urai, teman seangkatan.
"Yun, kamu kenapa?" tanya Urai.
Yun mengalihkan pandangan ke tempat pemuda tadi berdiri. Ternyata orang itu lenyap! Bulu kuduk Yun seketika meremang. Tanpa menjawab pertanyaan Urai, ia menstarter sepeda motor, lalu menarik gas, menghindar secepatnya dari situ. Di ujung parkiran, ia kembali mendengar sayup-sayup pemuda itu terbahak mengejek.
☆☆☆
Hanya karena kasih sayang Yang Mahakuasalah Yun sampai di rumah dengan selamat tanpa kurang suatu apa pun. Tangisnya sudah reda, namun kepalanya masih penuh dengan pikiran yang berseliweran seperti benang kusut.
Saat masuk, terlihat Suryani mengemasi baju dengan wajah sembab. Begitu melihat Yun, ia memanggil.
"Yun, Ibu harus pulang kampung. Mamak sakit keras," ujarnya sambil menahan tangis.
"Nenek sakit apa, Bu?"
"Darah tinggi, strok. Maklum, udah tua. Kamu berani, kan, sendiri di rumah?"
"Kapan Ibu pulang?"
Suryani menggeleng lemah. "Belum tahu. Lihat kondisi."
Yun mengangguk. Tak lama kemudian, sebuah mobil travel berhenti di depan rumah. Suryani berangkat setelah meninggalkan sejumlah uang pada Yun. Setelah mobil yang membawa Suryani pergi, tersisa Yun seorang diri.
Lengang.
Suasana sepi itu tiba-tiba mencekam. Yun segera menutup semua jendela, gorden, pintu, lalu mengunci diri di kamar sambil meringkuk di kasur.
Faisal, kamu masih sekolah?
Aku takut.
Yun meraih ponsel, lalu memutar "Dynamite". Irama lagu yang rancak itu segera menumbuhkan kekuatan dalam hati. Perlahan, otot-otot tegang Yun mengendur. Ia bisa rebah dengan lebih nyaman. Diciumnya cincin giok merah pemberian Faisal, seolah mencium kekasihnya itu. Ingatannya kembali ke saat mereka berciuman pertama kali. Bibir Faisal juga merah seperti giok ini. Dan ... dan bibir itu mirip dengan milik ibunya, dosen angker itu.
Rasa takut kembali mendera, mencengkeram hati Yun. Ia ngeri akan masa depannya. Semua terlihat gelap. Sanggupkah menyelesaikan skripsi? Sanggupkah hidup tanpa senyum Faisal? Yang paling menyiksa, tak ada masa depan bagi anak lonte dan tukang cabul. Tidak ada!
Yun kontan memegang kepala, ada banyak suara memenuhi otak. Serasa seisi dunia tengah berbicara padanya.
Oh, sakit!
KAMU SEDANG MEMBACA
Magamon Insaf
RomanceMagamon. Manusia Gagal Move On. Faisal Elvano, dokter ahli jiwa sekaligus dosen FK, telah menyandang gelar itu sejak cinta pertamanya kandas lima belas tahun yang lalu. Sekarang usianya 33 tahun dan masih belum ada tanda-tanda ia akan melepas masa l...