31. Kekesalan

270 76 35
                                    


= Banjarmasin, 2036 =

Faisal menatap halaman gelap rumah Suryani. Ada segumpal pilu yang mengendap dan menjadi kerak keras di dasar dada. Keinginan manusia sering tidak sejalan dengan suratan takdir. Sebesar apa pun pengorbanannya, tetap tidak bisa mencegah perpisahan itu terjadi.

Pada kenyataannya, justru kamu yang ingkar janji, Yun. Kamu ninggalin aku. Bahkan tanpa kata-kata perpisahan.

Embusan napas Faisal yang dipaksa keluar dengan cepat memancing perhatian Yunida. Dalam keremangan kabin, gadis itu masih bisa melihat sebentuk jiwa yang menerawang ke tempat lain.

"Bang!" Suara Yunida sengaja dibuat kencang saat menepuk bahu Faisal. "Ngelamun lagi!"

Faisal terjingkat kaget. Kesadarannya diseret kembali ke masa kini dan langsung berhadapan dengan tatapan Yunida yang penuh curiga. "Aku mikir, bukan ngelamun!" sanggahnya.

Yunida tentu saja tidak terima. Jelas-jelas Faisal setengah saja berada di sisinya. Yang setengah lagi, entah berada di mana. "Mikirin apa, sih?"

"Nggak ada," sahut Faisal, datar.

"Loh, tadi katanya nggak ngelamun tapi mikir. Atau aku ganti pertanyaannya, mikirin siapa?"

Ketenangan Faisal mulai terusik dengan sikap kepo Yunida. Ia decak keras, lalu berusaha mengalihkan perhatian gadis itu. "Kita nonton aja." Tanpa berkata-kata lagi, ia memutar setir mobil.

Yunida berusaha memahami sikap aneh itu, namun akhirnya tidak tahan untuk tidak bertanya.

"Bang, ada apa, sih?" tanya Yunida setelah mereka keluar dari kompleks rumah Suryani.

Faisal tersentak dari kenangan lama, lalu menoleh sekilas pada gadis di sampingnya. "Kamu tanya soal apa?"

Yunida menatap lekat-lekat sambil memicing. "Abang kayak sedih, kayak tertekan. Ada apa di rumah itu?"

Faisal harus mengakui bahwa insting Yunida sangat tajam. "Nggak ada apa-apa, cuma masa lalu."

"Masa lalu yang pedih?"

Faisal kembali melengos karena dadanya seperti disentak. "Apa semua masa lalu itu pedih? Masa lalumu kali yang pedih."

Yunida tersentak. Membicarakan masa lalu, pikirannya langsung melayang kepada kehilangan besar yang belum genap sebulan berlalu. Ibunya telah pergi. Penyakit kanker getah bening telah merenggut sang ibu dari sisinya. Terbayang kembali wajah tirus dan pucat yang masih berusaha tersenyum di saat-saat terakhir. Air mata Yunida berguguran tanpa sengaja.

Faisal kaget mendengar isakan halus dan raut yang tertunduk. "Yun, kamu nangis?"

Hanya gelengan dan tangan yang sibuk mengelap air mata sebagai jawaban.

Udah jelas nangis, masih mengelak, gerutu Faisal dalam hati. Namun, ia khawatir juga. Jangan-jangan ada ucapan atau tingkah lakunya yang menyakiti gadis itu. Segera dipinggirkannya mobil, lalu berhenti di tempat aman.

"Aku salah, ya? Kamu kesal sama aku?" tanyanya lirih.

Yunida telah selesai menghapus air mata. Ia menggeleng kecil. "Enggak, Bang. Gara-gara ngomongin masa lalu, aku jadi ingat mama."

Faisal sudah tahu apa yang menyebabkan kepergian ibu Yunida. Pasti ada sesuatu yang membuat gadis ini menangis mengingat sifatnya selalu pemberani dan ceria.

"Mamamu kenapa? Kamu sedih karena apa?"

Pertanyaan itu sangat janggal bagi Yunida. "Bang, mama belum genap sebulan pergi. Ya, pasti aja aku masih belum terbiasa tanpa mama! Emang Abang nggak akan begini kalau mamanya pergi?"

Magamon InsafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang