Suryani menjadi pening setelah pulang dari pertemuan dengan orang tua Faisal. Ia perlu berbaring sejenak dan meminum kunyit asam agar lebih tenang. Maklumlah, jantung tua memang sudah diajak berpacu, sebentar-sebentar harus rehat.
Tantangan terbesar Suryani adalah Faisal. Akhirnya, Suryani mengajak Faisal untuk bertemu empat mata. Mereka kemudian sepakat untuk makan berdua di Asiah Resto sesuai permintaan anak itu. Mereka memesan cumi telur asin dan jelawat saus bawang. Sembari mengunyah, Faisal bercerita tentang kenangannya bersama Yun di tempat itu.
Bagi Suryani hanya ada satu kata untuk menggambarkan kesannya terhadap remaja ini. Takjub. Faisal tidak hanya rupawan, namun juga penuh kekuatan. Caranya menatap dan berbicara tanpa keraguan. Postur tubuhnya tegak dan gerakannya gesit serta mantap. Ia tidak mudah dibuat percaya, selalu menuntut jawaban yang rasional. Seluruh sikap Faisal menyimpan kesombongan yang anehnya terasa anggun alih-alih mengancam. Pantas saja ayah tirinya mengeluh harus melakukan diplomasi tingkat tinggi bila menasehati anak ini.
Sebagai pendidik yang telah bekerja lebih dari empat puluh tahun, Suryani paham benar bahwa tidak mudah membesarkan anak yang memiliki kemampuan di atas rata-rata. Bukan hanya saat remaja, didikan harus sudah dijalankan sejak mereka bayi.
Anak-anak seperti Faisal tidak bisa dilarang atau dikekang. Darahnya sudah disusun untuk memberontak dan melawan otoritas, siapa pun itu. Orang tuanya harus bisa memahami hal itu.
Faisal telah menghabiskan makanan di piringnya. Saat tahu piring Suryani juga telah kosong, ia bertanya, "Ibu mau nambah sayur atau lauk? Atau mau dibungkus buat dibawa pulang?"
Gayanya sudah seperti orang dewasa saja. Sebab dalam prinsip Faisal, seorang lelaki harus membayar bila makan bersama perempuan. Dan, ia cukup mampu untuk melakukannya.
Suryani tersenyum melihat sikap itu, namun ia menggeleng. "Sudah cukup. Nggak perlu dibungkus, nanti Yun malah curiga kita ketemuan."
Wajah remaja di depannya mengangguk, kemudian menatap dengan penuh tanda tanya dan menunggu.
"Faisal, Ibu sudah dengar rencana orang tuamu untuk memindahkan kamu ke Jakarta," ujar Suryani untuk membuka pembicaraan serius mereka.
Faisal tidak berkata-kata, hanya mendengkus keras, kemudian terdiam dengan memalingkan wajah dan kedua tangan menumpu di paha.
"Faisal ...."
"Mama dan papa ketemu sama Ibu? Jadi ini maksud Ibu ketemu saya? Bu, saya nggak mau pindah! Biar Ibu paksa-paksa, saya nggak mau!"
Suryani membiarkannya untuk beberapa saat sebelum melanjutkan, "Faisal, kamu tahu apa yang paling membuat Yun stres?"
Faisal mengangguk. "Mama saya," jawabnya sembari membuang pandangan ke jalan.
Senyum Suryani terkembang. "Bukan, kamu salah."
Ditentang begitu, Faisal kontan menoleh.
Senyum Suryani semakin mengembang. "Bukan mamamu, tapi skripsinya yang tidak kunjung selesai. Mamamu hanya pemicu saja."
Sorot mata Faisal berkilau sejenak, tanda tidak percaya.
"Kamu tidak tahu, kenapa skripsi yang terhambat itu bikin Yun stres berat?"
"Saya kurang paham." Kini, Faisal terpaksa mendengarkan.
"Hmm, kamu tahu apa yang membuat Yun mati-matian ingin lulus kuliah? Dia ingin dihargai, Sal. Masa kecilnya penuh pelecehan. Ia korban perundungan akibat kelakuan orang tuanya."
"Ah, iya. Yun pernah cerita."
"Mereka keluarga tidak punya. Baik dari pihak ayah atau ibunya, tidak ada yang sekolah lebih dari SMA."
KAMU SEDANG MEMBACA
Magamon Insaf
RomanceMagamon. Manusia Gagal Move On. Faisal Elvano, dokter ahli jiwa sekaligus dosen FK, telah menyandang gelar itu sejak cinta pertamanya kandas lima belas tahun yang lalu. Sekarang usianya 33 tahun dan masih belum ada tanda-tanda ia akan melepas masa l...