1. Manusia Gagal Move On

988 86 12
                                    




= Banjarmasin, Akhir Tahun 2036 =

Magamon. Manusia gagal move on.

Sudah lima belas tahun sejak cinta pertamanya kandas, Faisal menyandang gelar itu tanpa perlawanan. Lima belas tahun bukanlah waktu yang lama karena waktu seperti berlari. Tahu-tahu, usianya sudah lewat tiga puluh dan peristiwa itu masih seperti baru kemarin sore terjadi. Getaran cinta, canda dan cumbu, serta tangis yang ia alami masih sangat nyata, senyata curahan gerimis di area parkir RSJ Sambang Lihum. Butiran dingin itu tanpa ragu menimpa dahi, hidung, pipi, dan bibirnya, seperti sengaja menunjukkan daerah yang belasan tahun tidak tersentuh wanita.

Faisal meninggalkan mobil seraya mengenakan jas dokter di bawah rintik gerimis. Ia menyimpan payung di sisi jok, tapi enggan menggunakannya. Gerimis seperti ini tidak akan menyakiti seorang Faisal Elvano.

Ada sebuah peristiwa penting yang disaksikan hujan rintik-rintik seperti ini. Faisal menganggapnya sebagai titik balik dalam hidup. Sudah pasti, peristiwa yang mengantarnya menjadi dokter ahli jiwa itu punya hubungan erat dengan cinta pertama yang kandas. Mungkin karena magamon sejati, ia ingin selalu merasakan kembali sensasi sentuhan alam yang satu ini.

Faisal mengusap wajah, menghapus butiran air yang mengganggu pandangan, sambil melangkah lebar-lebar melintasi area parkir. Di depan lobi rumah sakit, ia melewati serombongan koas.

"Selamat pagi, Dok!" sapa koas-koas itu serempak, seperti diberi aba-aba.

Faisal hanya membalas dengan mengangguk dan melempar senyum tipis. Tindakan kecil itu saja sudah cukup untuk membuat gerombolan yang sebagian besar perempuan itu memekik kecil.

"Pemandangan paling eksotis di RSJ," bisik salah satu dari mereka.

"Tinggi, putih, dadanya kekar, uwuwuwu!"

"Hidung mancung, bibir merah ...."

"Matanya itu loh, bulat lebar. Aku mau pingsan aja kalau dilihatin."

Mereka terkikik lirih.

"Ahjussi mapan nggak, sih?" (paman atau om - Korea)

"Husbandable banget, ya."

"Sayang seleranya lain."

"Ho'oh, gosipnya dia dingin kek es kalau sama cewek."

Bisik-bisik itu sebagian sampai juga di telinga Faisal. Sebagai magamon dan jomlo kasip, telinganya sudah mengembangkan kemampuan mutakhir, yaitu bisa memilih apa-apa yang ingin didengar, lalu menyingkirkan semua suara yang membuat otak kusut, alias menjadi tuli selektif. Salah satunya adalah gibahan tidak bermutu para koas itu.

Dasar bocil, gerundel Faisal dalam hati.

Faisal melanjutkan langkah memasuki sebuah lorong kecil yang mengantarnya ke kelas para koas. Dari ujung lorong, terlihat pintu kelas terbuka dan keriuhan suara para calon dokter itu menguar dari sana. Dalam hati, ia mengeluh.

Buang-buang waktu cuma buat hahahihi. Coba baca jurnal, kek. Baca textbook, kek. Nanti kalau giliran ditanya cuma bisa cengar-cengir, awas!

Ponsel Faisal berdering. Diraihnya gawai itu dari saku. Ia berhenti sejenak di dekat pintu kelas untuk melihat siapa yang menelepon sepagi ini.

Mama is calling ....

Tanpa sadar, desahan halus keluar dari mulutnya. Mengapa wanita satu itu selalu menelepon di saat tidak tepat? Kalau tidak terlalu pagi seperti ini, pasti terlalu malam dan mengganggu tidur.

Fasial menolak panggilan itu. Sebagai gantinya, ia membuka aplikasi pesan teks dan mulai mengetik balasan.

Faisal_ Nanti siang Mama telepon lagi. Sekarang aku mau ngajar.

Faisal memencet tombol "Kirim" sambil melangkah menuju pintu. Bertepatan dengan itu, seseorang bergegas keluar ruangan.

Brukk!

Gerakan Faisal terhenti. Ponselnya terlepas dari tangan karena sesosok tubuh tahu-tahu berlabuh di dadanya.

Oh, bukan!

Ia ditubruk seseorang. Cukup keras pula daya tabrakan itu sampai kakinya harus mundur selangkah untuk menahan mereka berdua agar tidak jatuh. Refleks, tangannya merengkuh punggung orang itu. Dalam waktu hanya hitungan detik, Faisal sadar bahwa orang yang berada dalam pelukannya adalah gadis ramping berjas koas.

Gadis itu mendongak. Matanya tanpa basa-basi berserobok pandang dengan Faisal. Sepasang mata bulat yang basah oleh air mata.

Faisal tertegun. Mata dan sorot merana itu terasa tidak asing. Jiwanya mendadak terseret ke belasan tahun silam, di mana tatapan seperti itu pernah membuat hatinya bertalu. Bahkan lagu yang sering mereka dengarkan kala itu mengalun kembali, menerobos tabir waktu.

Beruntung gadis itu segera sadar dan menarik diri dari pelukan Faisal. Kalau tidak, mungkin Faisal akan kehilangan akal. Detik berikutnya, koas aneh itu kabur dengan berlari, meninggalkan sang magamon yang terbengong di lorong.

Apa-apaan? Habis nubruk orang langsung kabur. Minta maaf, kek.

Faisal menggerundel dalam hati sambil memungut ponselnya dari lantai. Saat kembali berdiri dan melayangkan pandangan melewati pintu yang terbuka, ia baru tahu seisi kelas menatapnya dengan pandangan aneh.

Faisal memasang ekspresi muka datar dan melangkah tenang memasuki ruangan. Mereka cuma koas-koas angkatan baru yang hari ini memulai stase di Psikiatri. Coba saja kalau berani bertingkah aneh-aneh di depannya. Dijamin, lima minggu ke depan hidup mereka akan serasa berada di neraka.

"Siapa itu tadi? Nanti siang, suruh dia menghadap saya!" Dosen killer memulai aksi dengan intimidasi.

Seorang koas laki-laki berdiri. "Maaf, Dok. Itu tadi Yunida Akmal. Tapi ... mmm ...." Pemuda itu terlihat ragu. Belum apa-apa, ia sudah kelimpungan dihujani tatapan tajam sang dosen.

Faisal mengangkat alis sehingga si koas semakin salah tingkah. "Kenapa?"

"Mungkin nanti siang dia tidak bisa menghadap Dokter ...."

Hmm, jangan-jangan anak itu tadi mangkir, batin Faisal. Kenapa lari-lari sambil menangis? Berantem sama cowoknya? Dasar cengeng!

"Kenapa nggak bisa?" cecar Faisal.

"Dia baru dapat telepon ... ibunya meninggal dunia, Dok."

Faisal tertegun. Ada sesuatu menghantam sudut hatinya. Ingatan akan ibu selalu membuahkan rasa sesak. Gadis itu ternyata menangisi ibunya. Akankah ia juga meneteskan air mata bila mamanya berpulang?

Ah, sudahlah!

Faisal segera duduk di kursi dosen dan menghapus pikiran aneh itu dari benak.

"Kalian baru masuk hari ini di Bagian Psikitari. Silakan memilih ketua kelas!" titah Faisal dengan nada tegas yang menguatkan aura angkernya.


Author's Note:

Cerita ini dioprek dari kisah YUN karena akan diikutkan lomba di Bestory.

Magamon InsafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang