32. Pergi

275 76 50
                                    

= Banjarmasin, 2020 =

Upaya Suryani dan Faisal membuahkan hasil. Setiap hari, Faisal menemani Yun mengerjakan proposal. Sebenarnya tidak terlalu sulit, bahkan otak jenius Faisal dapat memahami ke mana alur pemikiran harus diarahkan. Walau tidak tahu persis tentang tuberkulosis, cowok itu bisa membantu mengumpulkan dan menerjemahkan jurnal untuk bahan tinjauan pustaka. Suryani pun ikut turun tangan, membantu memperbaiki alur logika sehingga Yun bisa memahami kerangka konsep.

Bila datang hari untuk berkonsultasi dengan dosen pembimbing, Suryani menyediakan waktu untuk mendampingi Yun. Guru yang telah pensiun itu mengajar di sebuah bimbingan belajar hanya saat sore hari, sehingga punya cukup waktu untuk mengantar Yun ke kampus.

Sebulan yang penuh kesibukan berlalu dengan cepat. Bila dihitung, maka tinggal sebulan lagi Faisal harus berangkat ke Jakarta.

"Yun, minggu depan aku dipingit mama dan papa, soalnya sekarang ujian akhir semester," kata Faisal sore itu di depan Yun dan Suryani.

Yun menatapnya dalam-dalam, lalu tersenyum. "Kamu harus tekun belajar, ya. Biar dapat nilai bagus, terus nanti diterima di Astronomi."

Faisal terkekeh. "Kuliahnya masih tahun depan, Yun. Tapi aku emang mengejar nilai bagus. Siapa tahu bisa lolos seleksi masuk tanpa tes."

Mata Yun melebar, begitu pula senyumnya. Ia belum lupa kekasihnya adalah seorang jenius. "Oh, semoga kamu lulus tanpa tes, Faisal!"

"Ya udah, Faisal pulang aja, belajar," timpal Suryani.

Yun ikut mengangguk. "Iya, kamu pulang aja."

Faisal menurut. Sebenarnya tidak masalah bila terus berada di rumah Yun, toh pelajaran sekolah tidak terlalu sulit dan ia yakin bisa mendapat nilai bagus. Namun, akhir-akhir ini ia malas membuat masalah dengan kedua orang tuanya sehingga lebih senang menurut dan tidak membuat kegaduhan.

"Aku pulang," pamitnya pada gadis itu.

Yun mengantarkan Faisal hingga ke halaman. Dari pintu rumah hingga tempat sepeda motor Faisal terparkir, cowok itu terus menggandeng tangannya. Kehangatan tangan Faisal merembes dengan cepat ke jiwanya, menyisakan senyum tersipu dan wajah merona.

Ah, Faisal ... kamu selalu hangat!

Sementara itu, dari tempat duduk di ruang tamu, Suryani dapat menyaksikan dua punggung menjauh sambil bergandengan tangan. Mau tak mau senyum bahagia terkembang. Entah apa jadinya Yun bila tidak ada Faisal. Agaknya, remaja SMA itu adalah hadiah terindah bagi hidup Yun yang selama ini biru dan carut-marut.

Semoga kalian selalu bahagia bersama, doanya dalam hati.

☆☆☆

Agaknya, doa Suryani tidak terkabul. Selama ditinggal Faisal, Yun memang terlihat sibuk di kamar, duduk di depan laptop. Suryani mengira semua baik-baik saja. Yun memang lebih pendiam akhir-akhir ini serta jarang keluar kamar. Beberapa pekerjaan rumah terpaksa dikerjakan oleh Suryani. Wanita itu mengalah karena tidak mau memberi tekanan pada Yun. Minggu depan, Yun maju sidang proposal. Ia hanya berharap Yun dapat melalui masa sulit itu dengan baik.

Menjelang sidang, kesibukan Yun bertambah. Ia mulai mencetak dan menggandakan naskah. Gadis itu terlihat tegang, namun masih bisa diajak bicara. Hanya saja bila diajak mengobrol, pembicaraan selalu berputar-putar sekitar proposal. Biar diajak bicara tentang masakan, film, sinetron, atau apapun, Yun selalu kembali ke tuberkulosis. Akhirnya, Suryani memilih membiarkan saja Yun dengan aktivitasnya.

Ternyata keputusan Suryani itu salah besar. Suatu malam, Suryani terbangun karena panggilan alam. Saat hendak ke kamar mandi, ia mendengar suara-suara dari kamar Yun. Lampu di kamar itu masih menyala padahal saat itu telah lewat tengah malam. Perasaan tidak enak segera merayapi hati Suryani. Dengan mengendap, ia mendekat ke pintu, lalu mengintip melalui celah pintu yang tidak tertutup rapat.

Betapa terkejutnya Suryani. Yun sedang duduk di meja belajarnya. Laptopnya terbuka di atas meja. Kertas-kertas berserakan di lantai. Buku-buku tebal bertumpuk dan tergeletak sembarangan di meja dan kasur. Tadinya, Suryani berpikir Yun tengah video call dengan Faisal. Ia sudah berencana menegur bocah itu karena membuat Yun tidak tidur sampai tinggi malam. Namun ternyata, Yun sedang berbicara seorang diri, mengoceh segala macam hal yang tidak jelas.

"Kamu kok gitu? Aku bisa, kok. Siapa bilang aku nggak bisa jadi sarjana ...." Yun membelalak dan manyun, seperti tengah mengomeli seseorang, padahal ia hanya berhadapan dengan tembok kamar.

"Aaaaah! Jangan ganggu aku! Pergi, hush, huuush! Aku mau ngetik proposal!" Kali ini, Yun memekik sambil menaikkan kaki ke kursi, lalu meringkuk.

"Eheheheh ... jangan gitu, lihat nanti, ya! Kalau sudah lulus, aku akan kerja dan punya uang banyak. Kamu boleh minta apa aja." Yun kembali bertingkah galak, seperti tengah ditantang seseorang.

Kaki Suryani lemas seketika. Jangan-jangan penyakit Yun kambuh. Mungkin tekanan mempersiapkan sidang proposal terlalu berat buat jiwanya yang rapuh. Padahal Yun selalu minum obat di depannya. Mengapa pil-pil itu tidak dapat menahan munculnya gejala penyakit?

Hati Suryani menciut. Ia ingat akhir-akhir ini, saat diminta meminum obat, Yun bilang sudah minumnya. Saat ia memeriksa kemasan obat, memang benar jumlah obat dalam kemasan berkurang. Apakah sebenarnya Yun membuang pil-pil itu alih-alih menelannya?

Ya, Gustiiiii!

Suryani segera mengetuk pintu. Yun tidak menjawab sehingga ia langsung masuk.

"Yun!" ditepuknya bahu gadis yang tengah menggulung bada di atas kursi itu. Yun menoleh karena kaget. Saat tahu yang datang Suryani, ia tertawa.

"Eheheh ... Ibu? Saya kaget," ujarnya sambil meringis lebar. Suaranya keras, seperti sedang bicara dengan orang dari kejauhan. Padahal sehari-hari, Yun lembut dan suaranya lirih. "Ibu ngapain?"

"Ibu tadi bangun karena kebelet pipis, lalu mampir ke ruang makan buat ambil minum."

"Eheheh ... saya nggak dengar, Bu. Habis ramai banget di sini."

Hati Suryani kontan mengerut. Mereka hanya berdua dan sekarang tengah malam. Bagaimana mungkin Yun merasa suasana tempat ini ramai? Sudah jelas, Yun mengalami halusinasi lagi.

"Kenapa kamu belum tidur?" tanya Suryani sembari mengelus punggung Yun, kemudian merengkuh bahu gadis yang kini memutar posisi duduknya menghadap laptop.

"Eh, iya, Bu! Masih banyak yang diketik!" sahut gadis itu dengan gegap gempita. Sifat Yun yang biasanya lembut dan kalem, mendadak menjadi heboh.

Suryani miris menyadari perubahan kepribadian itu. "Udah malam, ayo tidur dulu."

"Oh, eheheh ... belum ngantuk. Masih kuat kok, Bu!"

"Kamu udah minum obat sore tadi?"

"Udah!"

"Oh." Pandangan Suryani beralih ke layar laptop dan seketika hatinya semakin sedih. "Yun, laptopmu mati."

Wajah Yun mengerut, lalu tiba-tiba berkaca-kaca. "Iya, Bu. Udah tua, rusak dia."

Jadi sepanjang malam kamu menghadap laptop mati? Astaga!

"Besok Ibu belikan yang baru. Udah, tidur aja." Iseng, tangan Suryani memencet tombol "On". Layar laptop langsung menyala dan beberapa saat kemudian, perangkat itu bisa berfungsi seperti biasa.

"Loooh, sekarang kok bisa?" seru Yun.

"Kamu nggak nyalakan, gimana bisa hidup?" sahut Suryani dengan tersenyum sabar. "Udah, ayo istirahat. Besok sore, kita kontrol ke dokter."

Yun tidak menyahut, jarinya langsung bermain di atas keyboard. "Laptop, kamu nakal, ya, bohongin aku!" gerutunya.

Suryani meninggalkan Yun untuk melanjutkan tidur. Maklum, masih terlalu pagi untuk bangun. Ia terjaga saat azan subuh berkumandang. Seperti biasa, Suryani bangkit untuk pergi ke dapur. Saat melewati kamar Yun, ia kaget. Pintunya terbuka. Kamar itu kosong.

Yun sudah pergi!


////////////////

Komen please ....
Buat info karya, follow juga FB dan IG-ku: nataliafuradantin

Magamon InsafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang