9. Cinta yang Jatuh

360 82 35
                                    


= Banjarmasin 2036 =

Siang itu, selesai istirahat makan, Faisal kembali menekuni pekerjaan menggunakan laptop. Sebagai dosen, ia diwajibkan untuk membuat penelitian secara berkala. Sekarang pun tugas-tugas itu masih bertumpuk, menunggu untuk diselesaikan. Baru mengetik beberapa kalimat, ponselnya berdering.

Mama.

Setiap nama itu muncul di layar ponsel, suasana hati Faisal berubah. Komunikasi mereka sudah lama hambar. Yaitu sejak Faisal memutuskan untuk menjauh dari kedua orang tua. Ia tahu tidak seharusnya memiliki pendirian seperti itu. Namun, ada dorongan yang tidak bisa dicegah untuk tetap melakukannya.

"Ya, Ma? Ada apa?"

"Nggak ada apa apa." Terdengar suara yang serak dan lemah.

Kalau nggak ada apa-apa kenapa telepon?

Sudah lama ibunya sakit-sakitan. Sebenarnya Faisal tidak tega terus-menerus bersikap dingin. Anak mana yang tidak ingin berbuat baik pada ibu sendiri? Salah ibunya bila ia membangun tembok di antara mereka. Bila keputusan sudah dicanangkan, pantang untuk ditarik kembali.

"Nggak pa-pa, Ma. Kalo ada perlu bilang aja."

"Nggak ada perlu apa-apa kok. Mama cuma kepingin dengar kabarmu."

Faisal menghela napas panjang. "Kabarku baik-baik aja. Mama gimana?"

"Mama dan Papa juga baik-baik aja."

"Mama udah kontrol?"

"Udah. Mama juga teratur diit."

"Syukurlah."

Sepintas, pembicaraan itu seperti dua orang yang saling peduli. Namun bila diperhatikan nadanya, akan terasa bahwa rangkaian kata itu hanya basa-basi. Faisal bahkan telah hafal urutan kalimat yang akan diucapkan.

"Kamu nggak pulang akhir tahun ini, Sal?"

Faisal mendesah panjang. Ia tidak menghitung lagi sudah berapa tahun tidak mengunjungi orang tuanya di Semarang. Bukan karena sibuk, melainkan enggan. Ia malas saja meninggalkan Banjarmasin. Kalau ditanya mengapa malas, tidak ada jawabannya. Apakah rasa malas harus punya alasan? Ada-ada saja.

"Enggak. Maaf."

Sejenak terdengar rintih panjang diikuti bunyi ingus yang ditarik. Inilah yang membuat Faisal malas mengangkat telepon ibunya. Tangisan.

"Mama ... Mama kangen, Sal."

"Maaf," sahut Faisal datar. Ia sudah tahu cara menghadapi senjata tangisan. Tak perlu ditanggapi, nanti juga reda sendiri.

"Sampai kapan kamu begini? Kapan kamu bisa memaafkan Mama?"

"Aku udah maafin Mama. Harus berapa kali aku bilang itu? Tolong, jangan diungkit lagi. Udah basi."

"Kalau memang gitu, kenapa kamu nggak mau pulang? Mama juga kepingin merasakan disayang oleh anak Mama satu-satunya."

Maaf sekali lagi. Sayang itu nggak bisa diminta, Ma. Apalagi dipaksa. Karena rasa sayang itu hanya bisa diberikan secara suka rela.

"Ma, aku barus kerja. Kalau masih ada yang mau dibahas, nanti malam aja. Bisa?"

"Iya. Maaf udah mengganggu kamu. Mama sayang kamu, Sal. Mama menunggu kamu pulang."

Pulang ke mana, Ma? Buatku, yang namanya rumah itu udah hancur belasan tahun lalu.

Faisal kembali memfokuskan perhatian pada layar laptop. Biar membangun tembok setebal dan setinggi apa pun, toh suasana hati Faisal tetap terpengaruh. Otaknya blank beberapa kali. Tulisan yang semula lancar, kini tersendat-sendat.

Magamon InsafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang