30. Sebuah Janji

274 75 59
                                    


= Banjarmasin, 2036 =

Faisal menjemput Yunida di Asiah Resto pada suatu sore. Gadis itu muncul mengenakan kaus putih dan celana denim biru muda. Sebuah cardigan berwarna pink pastel menambah cerah kulit yang kuning terang. Rambutnya diurai dan di-blow gelombang sehingga kesan imut pada wajah bulat telurnya semakin nyata. Efek total penampilan itu adalah jantung Faisal berdebar keras, tidak mau mengikuti pakem irama normal.

Dengan gesit, Yunida naik ke samping Faisal, lalu memasang sabuk pengaman. "Kita ke mana, Bang?"

Faisal masih malas membuka mulut karena belum ingin kehilangan kenikmatan memandangi raut menggemaskan itu. Merasa tidak dijawab, Yunida menoleh. Serta merta matanya tertumbuk pada mata Faisal.

"Bang, kita mau ke mana?" tanya Yunida lagi dengan intonasi lebih pelan.

Faisal sengaja tidak melepaskan pandangan, senang mendapati gelepar tersipu-sipu gadis di sebelahnya. "Ke hatimu, Yun," ucapnya dengan nada dalam.

Jangan panggil Yunida bila tidak sanggup menandingi. Tatapan dibalas tatapan. "Kalau ke hatiku, kenapa naik mobil, Bang?" bisiknya sambil berkedip-kedip genit.

"Hah? Aku harus naik apa?"

"Naik pelaminan!"

Geregetan sekali Faisal dibuatnya. "Sekarang?"

"Emang Abang sanggup sekarang?" cibir Yunida.

Faisal mendengkus, kemudian mengalihkan pandangan ke depan sembari menjalankan mobil. "Tahun depan!" tukasnya.

Sikap itu membuat Yunida mengeluh dalam hati. Faisal selalu begini. Sejenak ada di sisinya, sejenak kemudian, jiwa lelaki itu seperti melayang entah ke mana.

Kamu ngerasain apa, sih, Bang? Kesedihan apa yang kamu pendam?

Mobil melaju menembus jalanan Banjarmasin yang padat. Tak lama kemudian, mereka membelok di KM 6, menuju sebuah perumahan.

"Kamu dulu kepingin dengar kisah lamaku, 'kan?" tanya Faisal.

Yunida mengangguk. "Abang udah mau cerita?"

"Antara iya dan enggak."

"Dih!" Yunida manyun panjang. "Kayak lelembut aja, Bang, antara ada dan tiada."

Faisal terkekeh juga. Mulut nyinyir Yunida ternyata bisa mendatangkan kesenangan yang unik. "Aku mau kenalin kamu sama ibu angkatku. Namanya Bu Suryani."

Mobil menyusuri jalanan kompleks, kemudian berhenti di depan sebuah rumah.

"Kok gelap-gelapan rumahnya? Pagarnya ditutup pula. Kayaknya kosong, Bang."

Faisal menatap halaman rumah sederhana itu. Setelah enam belas tahun berlalu, rumah itu tak banyak berubah. Hanya pagar samping sekarang sudah permanen, bukan kayu dan seng. Ada pula garasi mobil di bagian depan, mengikis halaman tempat ia dan Yun sering berkejaran dulu.

Aku masih bisa mendengar suara tawamu, Yun.

Angannya melayang ke masa sebulan setelah Yun jatuh sakit.

☆☆☆

= Banjarmasin, 2020 =

Semenjak menyetujui kepindahan, kegiatan Faisal tidak diusik lagi oleh Widya dan Ismet. Mereka seolah tutup mata. Yang penting Faisal mau ke Jakarta tiga bulan lagi, mereka tidak keberatan putranya menemani gadis itu setiap hari.

Alasan lain barangkali karena sudah bosan bersitegang dengan anak sendiri sekian lama. Faisal sanggup bertahan baik dalam perang dingin maupun perang panas berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Dendamnya karena sang ibu mengkhianati cinta ayahnya masih membara hingga hari ini. Faisal masih mau memanggil Ismet 'Papa' saja sudah merupakan keajaiban. Mungkin karena dalam hati kecilnya, Faisal sebenarnya mengakui bahwa Ismet bisa menjadi ayah yang baik.

Magamon InsafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang