46. Faisal ... maaf

299 88 69
                                    

= Area perkebunan sawit PT. SS Jaya, Kotawaringin Barat, 2021 =

Yun mengernyit dan menjerit tertahan. Rasa nyeri luar biasa ia rasakan saat dokter di klinik utama perusahaan menjahit luka di kemaluannya. Memang hanya dua jahitan, namun karena daerah sensitif, rasa sakitnya melebihi luka di tempat lain.

"Bagaimana anak saya, Dokter?" tanya Artini dengan cemas. Yun tidak hanya terlihat kesakitan setiap bergerak, namun ada yang lebih mengkhawatirkan. Mata gadis itu kosong, hanya sesekali saja bereaksi ketika dipanggil atau diajak bicara.

"Ibu, Adik Yun ini korban tindak kejahatan. Saya sudah menghubungi pihak keamanan untuk menindaklanjuti kasus ini. Semoga pelakunya segera tertangkap."

"Lukanya gimana, Dok?"

"Nanti saya beri obat. Lukanya dirawat seperti luka jahitan setelah melahirkan. Tapi yang ada yang lebih penting, yaitu kondisi mentalnya. Saya akan buatkan surat rujukan. Tolong anak Ibu segera diantar ke rumah sakit jiwa, ya. Apalagi sebelumnya memang sudah ada gangguan."

Artini dan Mulyono langsung saling pandang. "Harus sekarang, Dok?" tanya Mulyono. "Soalnya saya belum minta izin pada pimpinan."

Bukan pimpinan yang Mulyono pikirkan, melainkan dana. Uangnya baru saja terkuras untuk menjemput Yun ke Pegatan yang jauhnya empat belas jam perjalanan. Belum lagi membawanya ke orang pintar. Terus terang, ia harus mencari pinjaman dari kantor untuk biaya perjalanan mereka.

Dokter klinik itu agaknya mengerti situasi. "Bisa besok. Tapi obat yang saya berikan ini benar-benar diminumkan, jangan sampai terlewat. Obat ini gunanya supaya dia tenang dan besok bisa dibawa perjalanan jauh."

Kedua orang tua Yun menyanggupi. Mereka membawa Yun pulang ke rumah petak, jauh ke dalam area perkebunan. Sepanjang perjalanan, Yun hanya diam. Sesekali ia merintih bila mobil berguncang karena melibas jalan berlubang.

"Sakit?" tanya Artini.

Yun tetap diam. "Faisal ... maaf," gumamnya, nyaris tak terdengar.

"Kamu ngomong apa, Ndhuk?" tanya Artini.

Yun seolah tenggelam dalam dunianya sendiri. Ia tidak mau berkontak mata dengan siapa pun.

"Faisal ... maaf ... maaf, Faisal."

"Yun?" tanya Artini lagi.

"Faisal ... Faisal ... ma-maaf. Maaf, Faisal."

Hanya dua kata itu yang terus terucap dari mulut Yun.

☆☆☆

Dua hari berlalu, Mulyono masih mencari uang pinjaman. Banyak alasan penundaan dari staf kantor. Menunggu pimpinan, belum tahu apakah boleh meminjam lagi sementara pinjaman yang dulu belum lunas, dan sebagainya. Ia dan istrinya hanya pekerja kasar perkebunan sawit. Gajinya UMR. Itu pun telah dipotong berbagai keperluan. Salah satunya untuk berobat kakak Yun ke Banjarmasin dan biaya nenek Yun di Basarang. Belum lagi biaya susu si bungsu. Kalau sudah begini, ia menyesal mengapa mengotot membawa Yun pulang. Coba dari dulu berbaik-baik pada Suryani, barangkali sekarang ia tidak perlu merasa gengsi untuk meminta bantuan wanita itu.

"Udah, Mas. Hubungi aja Mbak Sur. Nggak usah malu. Memang kita terpaksa, kok," desak Artini.

Mulyono berdecak. Ponsel diberikan kepada istrinya. "Nih, kamu aja yang telepon!" sentaknya untuk menutupi rasa malu.

Artini harus berusaha berulang kali untuk menghubungi Suryani karena kondisi sinyal yang kadang ada kadang tiada. Akhirnya, setelah meminjam telepon satelit milik kantor, panggilannya baru bisa terhubung. Wanita baik hati itu menyanggupi untuk menjemput di gerbang keluar perusahaan, yaitu di muara jalan kompleks yang berhubungan dengan jalan trans-Kalimantan. Dengan lega, Artini pulang ke rumah.

Magamon InsafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang