16. Alasan Bertahan

329 79 73
                                    

Yunida membuka sebuah cup kecil, kemudian meletakkannya di samping kotak bento. Faisal berusaha membuat area kosong dengan menyisihkan laptop, tumpukan kuesioner, dan berbagai berkas ke samping. Kini meja itu terasa lebih lega.

"Dicelup kecap asin dulu sebelum dimakan, Dok," saran gadis itu. Satu cup lagi dibukanya. "Kalau tidak suka kecap asin, ini ada mayones."

"Begitukah?" tanya Faisal demi menanggapi Yunida. Padahal ia sudah tahu cara makan sushi karena pernah beberapa kali mencoba menu tersebut.

Yunida merogoh kantong, lalu mengeluarkan sambal saset. "Kalau suka pedas-"

"Tidak. Saya tidak bisa makan sambal."

Sudut bibir Yunida terangkat ke atas.

"Kenapa? Tidak suka sambal itu aneh?" sergah Faisal. Alisnya terangkat, dan matanya membulat. Khas Faisal bila menuntut penjelasan.

Gadis yang disergah tidak menjawab. Sambal saset ia kantungi kembali tanpa berucap apa pun.

Faisal mengambil sepotong gulungan nasi dengan sumpit, dicelupkan ke kecap, kemudian disuap sekaligus. Kecap itu terasa berbeda dari kecap asin biasa. Bercampur nasi pulen, rumput laut, daging kepiting, serta alpukat, kecap itu mendatangkan rasa gurih yang khas.

Enak. Boleh juga sogokanmu, Yun.

Sambil sibuk mengunyah, mata Faisal menatap Yunida lekat-lekat. Sushi gurih plus gadis cantik di depan mata. Luar biasa menu makan siang kali ini. Ratusan kuesioner yang membuat pusing kontan lumer, seperti daging kepiting dan alpukat yang menjadi bubur di dalam mulut. Usai melahap satu, ia ketagihan. Suapan kedua bahkan dikunyah lebih cepat.

Yunida senang makanannya disantap dengan lahap. Ia segera mengimbangi Faisal dengan menyuap sepotong. Ruang kerja itu menjadi saksi dua orang yang makan tanpa konsentrasi. Lidah memang mengecap sushi, gigi geligi menempanya menjadi halus, namun otak dan hati mengecap hal lain.

Yunida mengamati dengan berdebar. Bibir kemerahan Faisal semakin berkilau saja. Pipi yang halus dan mata yang berkilat mengingatkan Yunida pada remaja belasan tahun. Setelah mengenalnya dua minggu, Yunida dapat merasakan jiwa jail, penuh gelora, dan keras kepala sang dosen. Sebenarnya agak kurang selaras dengan usia Faisal yang telah kepala tiga. Akan tetapi, ia dosen yang sangat kompeten, jenius dan kritis, sehingga menjadi panutan mahasiswa.

Kabar yang didengar Yunida, Faisal dingin pada wanita. Kicauan burung entah dari mana menyebutkan lelaki ini memiliki orientasi seksual yang berbeda. Bahkan ada yang sadis menuduhnya berkencan dengan beberapa pria.

Yunida ragu. Tatapan Faisal saja seperti ini. Masa itu bukan ... bukan ... astaga!

"Dari mana kamu dapat daging kepiting besar-besar begini?" tanya Faisal memecah kesunyian.

"Papa punya pemasok khusus."

Alis Faisal terangkat. "Oh, papamu punya rumah makan?"

"Iya. Di Jalan Gatot Subroto. Kapan-kapan mampir, Dok."

"Kalian menyediakan sushi?"

"Oh, tidak. Sushi ini keisengan saya aja, Dok. Tapi banyak menu enak di sana. Ada cumi telur asin, kepiting telur, dan kodok hijau."

Jenis-jenis masakan itu mengingatkan Faisal pada masa lalu. Ketiganya menu kesukaannya. "Kepiting telur dan kodok hijau? Apa nama rumah makanmu?"

"Asiah Resto."

Mata Faisal kontan membulat dan melebar. Dunia ternyata penuh misteri. Di restoran itu, ia dan Yun kerap makan bersama.

"Saya sering ke sana dulu. Duluuu sekali. Tapi, saya sudah lama sekali tidak mampir lagi. Menu jelawat saus bawang masih ada?"

Magamon InsafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang