28. Keputusan Berat

294 82 54
                                    

Faisal baru tahu bahwa mama dan papanya sanggup setega itu untuk menyingkirkan Yun dari hidupnya. Mereka mau membantu Yun asal hubungan mereka putus. Ide kejam dari mana itu? Apa seperti itu orang tua yang baik?

Faisal menatap tajam lawan bicaranya. Ada rasa kecewa mengapa Suryani menyerah begitu saja. Namun, ia tidak menyalahkan wanita itu karena pasti ditekan oleh kedua orang tuanya. Faisal geregetan. Kakinya gatal, ingin segera pulang, lalu melancarkan protes besar-besaran.

"Mama dan papa saya bilang apa aja, Bu? Mereka memang kadang keterlaluan. Ibu nggak usah takut. Kalau nggak bener, nggak usah diikuti!"

Suryani tersenyum sabar, namun Faisal tidak bergeming.

"Saya nggak mau pindah!"

"Jangan keburu marah dulu. Kalau Ibu tidak salah perkiraan, kalian hanya akan terpisah satu tahun saja."

Otak Faisal berputar cepat. "Cuma setahun?"

Suryani mengangguk, tetap dengan raut lembut seorang ibu. "Ibu mau tanya, tahun depan kamu mau kuliah di mana?"

"Di ITB."

"Hmm, Bandung. Kamu suka di sana?"

"Bu, jangan mengalihkan pembicaraan! Maksud Ibu apa sebenarnya?" cecar Faisal.

Benar-benar harus diplomasi tingkat tinggi, keluh Suryani dalam hati.

"Faisal, kalau kita mengikuti skenario orang tuamu, tahun depan, Yun sudah lulus juga."

"Ya, saya tahu. Tapi saya bukan siapa-siapa dia lagi saat itu terjadi. Ibu nggak memikirkan perasaan Yun? Siapa bilang dia hanya butuh lulus? Siapa bilang kalau kami putus dia baik-baik saja? Ibu bisa bayangkan penderitaannya?"

Suryani menggerakkan tangan, meminta Faisal tenang. Namun darah pemberontak pemuda itu tidak bisa dihentikan.

"Ibu sendiri bilang, Yun peka sekali. Saya yang sehat saja stres kalau dipaksa putus, apalagi dia. Mama, papa, dan Ibu sama saja membunuh dia pelan-pelan!"

"Faisal, Ibu tidak menyuruh kalian putus! Kapan Ibu bilang begitu?" Nada suara Suryani turut meninggi.

Faisal terdiam, kaget dan sungkan karena membuat kesal Suryani, orang yang selama ini ia hormati.

"Justru Ibu mau memberi kalian cara supaya tetap bisa jalan bareng tanpa keributan. Mau dengar tidak?"

Mata Fasial melebar seketika. "Maaf, Bu. Saya kira ...."

Suryani kembali menggerakkan tangan agar Faisal tenang. "Ya sudah, tidak apa-apa. Sekarang Ibu mau tanya, apa kamu mau kuliah jauh dari orang tua?"

"Iya, Bu. Pasti!" Kuliah adalah jalan untuk kemerdekaan dari kekangan orang tua. "Tapi, kalau Yun tidak bisa ditinggal, saya akan kuliah di sini saja. Toh kalau kerja nanti yang dilihat prestasi kerjanya, bukan cuma asal universitasnya."

Suryani terenyuh. Faisal ternyata punya pemikiran lebih matang dari anak-anak seusianya.

"Kalau kamu suka kuliah di Bandung, pergilah ke sana. Kamu bisa jemput Yun diam-diam. Ajak dia tinggal di Bandung. Dia bisa bekerja selama menunggu kamu kuliah. Kalian akan lebih tenang karena jauh dari orang tua. Begitu kamu lulus, kamu bisa menikahi Yun. Papa dan mamamu sudah berjanji tidak akan menghalangi kalian bila kalian tetap saling cinta setelah kamu mendapat gelar sarjana."

Faisal tercenung. Ide menjemput Yun setelah lulus SMA itu terdengar sangat bagus. Mereka bisa bersama lagi di Bandung setelah setahun. Mengapa tidak terpikirkan hal itu sebelumnya? Sayang, di dalam alam bawah sadar Faisal telah menggumpal rasa tidak percaya kepada kedua orang tuanya.

"Ah, nggak mungkin! Nanti setelah lulus pasti mama dan papa berulah. Saya tahu banget kenapa saya dipindah. Itu cuma akal-akalan mereka buat memisahkan saya dengan Yun!"

"Ya, Ibu rasa begitu. Terus, apa rencanamu buat mempertahankan Yun?" telisik Suryani.

Faisal hanya melihat satu cara, menentang kehendak orang tua dengan keras. "Mungkin saya akan terus-terusan melawan sampai diberi izin."

Suryani mengangguk. "Benar, kamu bisa memilih jalan kekerasan. Menentang orang tua dengan kawin lari, misalnya. Tapi apa kamu sudah memikirkan akibatnya bagi Yun?"

Mulut Faisal kering seketika. Yun yang lembut. Yun yang rapuh. Yun yang tengah berjuang untuk sembuh, sanggupkah menjalani kehidupan yang berat?

"Ibu yakin kamu tahu Yun tidak akan sanggup menahan semua tekanan itu, Faisal. Bagi dia yang terbaik saat ini adalah berobat dengan tenang, lulus kuliah dengan tenang, lalu bisa menghidupi diri sendiri dengan bekerja. Bisakah kamu memahami itu?"

Faisal tertunduk. Kata-kata Suryani masuk akal. Ia melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana Yun ketakutan hanya karena berjumpa ibunya. Tidak mungkin gadis itu diajak "berperang" melawan mereka.

"Ibu yakin kamu pejuang yang tangguh. Biar presiden pun kamu lawan kalau perlu." Suryani melanjutkan dengan hati-hati. "Tapi tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan kekerasan. Kita harus cerdik menyiasati hidup."

Faisal seketika merasa tak berdaya. Ia punya nyali dan mental yang cukup untuk melawan siapa saja. Tapi cukupkah itu untuk melindungi Yun dari tekanan? Cukupkah untuk membuat suasana tenang dan damai di mana Yun bisa pulih dari penyakitnya?

Mau tak mau Faisal mengakui bahwa jalannya selama ini banyak diwarnai keributan. Ada gesekan sedikit dengan orang, teriakan dan tinju bicara. Mendapat teguran karena sesuatu, siap-siap saja orang itu menghadapi argumentasi sederas Sungai Barito[1]. Tidak mungkin dunia hitam itu dibawa ke dunia Yun.

Sepanjang mengingat masa lalu, ia hanya menemukan kesia-siaan. Buat apa segala keisengan tidak berfaedah itu? Mengumpulkan kawanan hanya untuk berkelahi, bahkan bermain-main dengan Noni. Coba dari dulu ia melakukan hal yang berguna, jualan misalnya. Mungkin uangnya sudah banyak dan bisa dipakai untuk persiapan masa depan. Jangan lupa, ke mana saja energinya terkuras selama ini? Hanya untuk menentang mama dan papanya, bukan? Dada Faisal semakin sesak oleh penyesalan.

"Sekarang kamu tidak sendiri," lanjut Suryani. "Ada Yun yang harus kamu jaga perasaannya, harus kamu lindungi kesejahteraannya. Semua keputusanmu sekarang harus mempertimbangkan dia juga, Faisal."

Ada rasa perih saat Suryani mengucapkannya. Anak seumur Faisal sudah diminta untuk menanggung beban seberat itu. Mata Faisal membasah. Melihat itu, ia ikut meneteskan air mata.

"Kamu harus bisa bersabar demi masa depan kalian. Yun tidak boleh kambuh lagi. Sebab bila kambuh-kambuhan, ia akan jatuh menjadi skizofrenia. Kamu pasti tidak mau hal itu terjadi, 'kan?"

Faisal memejamkan mata. Bulir-bulir bening merembes dari pelupuk yang mengatup. Ia perlu mengambil napas panjang beberapa kali untuk meredakan rasa perih. Ada yang diam-diam berubah dalam jiwanya. Ia semakin memahami jalan hidup yang harus ditempuh. Mulai sekarang ia harus punya bahu yang kokoh untuk sandaran bagi Yun. Tangan yang hangat untuk menyalurkan ketenangan. Ia harus menjadi orang yang bisa diandalkan. Tidak ada lagi tempat untuk keisengan tak berfaedah.

"Kalau saya tinggal, apa Yun nggak semakin parah?" tanya Faisal setelah emosinya reda.

"Ibu tadi sudah bilang, yang menyebabkan dia stres adalah skripsi. Kalau cuma berjauhan, sekarang ada teknologi. Kalian bisa teleponan atau video call sepuasnya."

"Apa benar mama dan papa saya akan merestui kami bila saya lulus sarjana nanti?"

"Ya. Mereka sudah berjanji pada Ibu semalam," jawab Suryani dengan mantap.

Agaknya, Faisal memang harus mengalah pindah demi memperjuangkan hubungan mereka. Dengan air mata masih berderai, ia mengangguk.

"Baik, Bu. Saya akan pindah demi Yun."

______________

[1] Sungai Barito adalah sungai terbesar yang membelah Provinsi Kalimantan Selatan dan merupakan lanskap ikonis bagi provinsi tersebut.


Komen please ....

Magamon InsafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang