3. Panggil Aku Yun

739 109 30
                                    


= Banjarmasin, 2020 =

Teras tempat menunggu ini luas dan asri dengan berbagai tanaman hias. Anggrek berbagai jenis bergantungan rapi di sisi tempat duduk. Bunga-bunga beraneka rupa dan warna menjutai dari pot-pot mungil itu. Berderet di tepian teras, pot-pot besar dengan suplir hijau yang tumbuh subur. Pohon rambutan dan mangga di halaman depan menambah suasana sejuk. Namun kesejukan itu tak menyentuh isi dada seorang gadis yang tengah duduk menunggu nasib.

Sejak semalam, dada Yun terus bergemuruh setiap teringat nama Widyaningrum, dosen pembimbing pertama skripsinya. Jangan salah sangka. Bu Wid—begitu sebutan sang dosen—sama sekali tidak seram. Sebaliknya, ia cantik sekali. Tingginya sedang, namun ramping. Ia senang berbusana batik yang serasi dengan warna kulit. Ia juga dosen yang cara mengajarnya paling enak. Kata-katanya mudah dipahami dan sering diselingi humor. Akan tetapi, ia dospem paling dihindari. Pasalnya Bu Wid kelewat kritis. Titik dan koma pun dibahas. Salah sedikit harus direvisi. Rasanya belum ada mahasiswa yang skripsinya mulus di tangan beliau. Belum lagi kesibukannya itu membuat mahasiswa harus bersabar menunggu jadwal konsultasi.

Di sinilah Yun, diberi jadwal konsultasi di rumah sang dosen, di siang yang panas terik. Ia sudah datang sepuluh menit sebelum waktu yang ditentukan. Sayang, sudah lebih setengah jam menunggu, Bu Wid belum juga datang.

Gadis manis berkulit kuning terang dengan tinggi satu setengah meter lebih sedikit dan berwajah bulat telur itu meneguk sirup leci terakhir yang disediakan oleh asisten rumah tangga Bu Wid. Perut mulai keroncongan. Beberapa kali, ia mengembuskan napas untuk menghalau kebosanan serta rasa yang menggelombang dalam dada sejak semalam.

Takut? Pasti.

Cemas? Tentu.

Bab satu dan bab dua sudah disiapkan seadanya karena dirinya bukan mahasiswa paling cemerlang di kelas. Bisa mendapatkan nilai B pun sudah bahagia. Kakak-kakak tingkat yang lebih pandai saja mengeluhkan Bu Wid. Bagaimana dengan dirinya?

Barangkali kesusahan adalah teman abadi Yun. Nyatanya, sejak kecil hanya kepahitan yang dirasakan. Bayangan masa lalu yang kelam menyeruak tanpa ampun.

Ia tidak akan pernah lupa rasanya terseok untuk tetap hidup sejak kedua orang tua bercerai saat dirinya masih SMP. Ia berjuang sendirian hingga mendapat kesempatan kuliah fakultas kesehatan masyarakat ini. Oh, andai bisa meminta, Yun akan memilih amnesia agar semua nyeri itu bisa dilupakan dan berharap waktu cepat berlalu dan ia lulus, kemudian bekerja. Hanya dengan begitu, hidupnya bisa bebas dari penderitaan.

Hmmph! Fokus, fokus! Cepat-cepat ditepisnya kenangan pahit itu.

Terdengar suara sepeda motor memasuki gerbang. Yun menjulurkan kepala melewati jajaran tanaman suplir untuk melihat siapa yang datang. Seketika, ia kecewa. Ternyata bukan Bu Wid, melainkan anak lelaki berseragam putih abu-abu.

❈❈❈

Faisal membelokkan sepeda motor memasuki halaman rumah.

Rumah. Heeeh!

Remaja berkulit kuning terang itu mengeluh dalam hati. Lelah di sekolah, lelah pula di rumah. Rasanya tidak ada tempat nyaman untuk beristirahat. Bahkan di rumah sendiri pun hatinya kerap carut marut tidak karuan. Apa lagi kalau bukan akibat ayah dan ibu yang selalu memberi ceramah sebanyak air di Bendungan Riam Kanan [1].

Sepeda motor memasuki halaman. Saat itulah, Faisal menemukan ada yang berbeda. Sesosok makhluk indah tengah duduk di teras.

Wow!

Gadis cantik bergaun peach tengah gelisah di antara hijaunya suplir-suplir. Sungguh serasi! Faisal segera mengecek baju. Beruntung ia tadi tidak meladeni tantangan Dicky. Padahal tangan sudah gatal sekali, ingin menyarangkan tinju di muka anak songong itu. Kalau tidak, pasti penampilannya saat ini akan kusut masai seperti yang sudah-sudah.

Magamon InsafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang