22. Pembaca Pikiran

284 76 48
                                    


= Banjarmasin, 2036 =

Faisal membelokkan mobil memasuki halaman Masjid Raya Sabilal Muhtadin, yang terletak di sebelah barat sungai terbesar yang membelah Kota Banjarmasin, yaitu Sungai Martapura. Setelah memarkir mobil, ia turun, lantas berjalan kaki menuju area samping masjid. Tahun telah bergulir. Suasana kota Banjarmasin telah banyak berubah. Namun, hutan kecil ini tetap sama. Bersyukur pepohonan di samping masjid ini masih dipelihara dengan baik sehingga tetap menyumbang udara sejuk di tengah deru dan debu. Penerangan taman membuat batang-batang pohon serta bangku-bangku beton terlihat dramatis.

Faisal melangkah ke sebuah sudut yang berbatasan dengan pagar lingkungan masjid. Batang pohon kenangan itu masih tegak di sana, membuat Faisal tercenung. Bayangan Yun yang duduk di akar pohon, dengan latar belakang jalan dan Sungai Martapura, tergambar nyata.

Yun ....

Napas Faisal terembus kasar, membuang sesak yang mendadak membengkak tanpa ampun.

Sedang apa kamu di sana?

Tahu nggak, apa yang bikin aku sesakit ini?

Kamu nggak kasih aku kesempatan buat ketemu dan bicara, Yun!

☆☆☆

= Banjarbaru, 2020 =

Yun melajukan sepeda motor dari kediamannya di pal 6 Banjarmasin menuju ke Banjarbaru, tempat kampusnya berada. Sejak dari rumah tadi, hatinya tidak tenang. Perjumpaan dengan Widya di restoran membayang sepanjang malam sehingga ia tidak bisa memejamkan mata sama sekali.

Seorang pengendara sepeda motor lain membunyikan klakson berkali-kali. Yun terpaksa menoleh. Ternyata ia melaju terlalu ke tengah sehingga mengagetkan pengguna jalan lain.

Pengendara yang marah itu menyalib. "Mata ikam ditaruh di mana?!" bentaknya sambil memelotot. [kamu, bahasa Banjar]

Yun menggigit bibir sambil mengangguk dan meminta maaf. Rasanya ia mengenal orang itu.

Astaga!

Mata Yun membelalak. Bukankah orang itu pemuda aneh yang mencemoohnya di perpustakaan tempo hari? Hatinya kontan menciut sebesar biji bayam. Semoga orang itu tidak membuntuti lagi.

Agaknya, kali ini Yun bisa bernapas lega. Pemuda yang mengendarai sepeda motor berwarna hitam itu terus melaju hingga menghilang dari jangkauan pandang.

Sampai di kampus, halaman parkir telah ramai oleh mahasiswa. Yun menunduk, malas menyapa bila berjumpa orang yang dikenal. Setelah mengunci sepeda motor, ia berjalan dengan langkah cepat melintasi halaman, kemudian menyusuri selasar.

Berkali-kali ia terpaksa menghindar dari tatapan orang. Entah mengapa, ia risih. Orang-orang itu memandang padanya lekat-lekat seperti melihat makhluk dari luar planet. Apa yang ada dalam pikiran mereka? Jangan-jangan setelah ini mereka memfitnahnya di belakang.

Sebenarnya, Faisal sudah mewanti-wanti agar jangan menjumpai Widya seorang sendiri, apa lagi di kampus. Sore nanti, Faisal berjanji akan menjemputnya, lalu menemani bertemu Widya di rumah. Yun menurut dan berniat tidak akan ke kampus hari ini. Ternyata rencana tidak berjalan mulus. Dosen pembimbing kedua menghubungi, ingin berjumpa untuk membahas revisi. Pak Agus—begitu Yun memanggilnya—adalah pria berusia empat puluhan yang ramah. Yun tidak gemetar saat menjumpai lelaki itu.

"Bu Wid bilang, kamu kesulitan membuat kerangka konsep, makanya beliau minta saya membimbing kamu lebih intens," ujar Agus.

Yun mengangguk, lalu menyerahkan naskah. Agus membaca beberapa saat. Kening lelaki itu berkerut beberapa kali.

Magamon InsafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang