29. Dukun

261 79 47
                                    

Sepanjang perjalanan pulang dari Asiah Resto, benak Suryani tidak bisa lepas dari bayangan wajah Faisal. Wajah yang masih polos itu berlinang air mata saat mengucapkan kata-kata setuju. Namun, tatapannya menyorotkan keteguhan yang membuatnya yakin bahwa anak itu akan melewati ujian ini dengan baik.

Jujur, bila berada dalam posisi Faisal, ia mungkin akan mundur teratur saat tahu penyakit Yun. Selama ini penderita sakit serupa selalu dianggap warga masyarakat kelas dua, termasuk soal jodoh. Belum apa-apa mereka akan menyingkir jauh saat tahu yang bersangkutan menderita gangguan kejiwaan.

Ia sempat pesimis, sempat berpikir Faisal akan lari. Kenekatan Faisal mencintai Yun mungkin hanya perwujudan keisengan remaja yang belum tahu bahaya. Namun, ia melihat sendiri air mata dan tatapan tulus anak itu. Betapa Faisal mau mengorbankan harga diri dan perasaan untuk menuruti keinginan orang tua demi kebaikan Yun. Suryani terpaksa mengakui bahwa Faisal memang lebih tangguh dari yang ia duga.

Sepeda motor Suryani berbelok memasuki halaman rumah. Ia heran menemukan pintu depan terbuka dan ada sepatu laki-laki di teras. Saat masuk, ia menjumpai wajah yang tak asing.

"Mbak Sur," sapa lelaki itu. Dia adalah Mulyono, ayah tiri Yun.

"Mul? Kapan datang?" balas Suryani sembari duduk di depan lelaki itu.

Yun datang membawakan teh hangat, lalu duduk di dekat Suryani.

"Baru aja, Mbak," jawab Mulyono. "Maaf, baru bisa datang. Soalnya susah ambil cuti. Banyak karyawan sawit dipehaka. Kami yang tersisa harus kerja dobel."

Sebenarnya Suryani lebih senang ayah Yun tidak datang. Lelaki ini sejak lama tidak terlalu mendukung anaknya sekolah tinggi. Katanya buat apa, lebih baik cepat mencari kerja dan membantu keluarga. Saat Yun sakit, ia memberi kabar lelaki ini hanya demi kepatutan.

"Oh, nggak pa-pa. Yun sudah baik, kok. Tinggal rutin minum obat dan kontrol sebulan sekali."

Mulut Mulyono terbuka sedikit. "Oh, dia stres karena skripsinya, ya?" Entah mengapa, nada bicara Mulyono seperti tidak percaya.

Suryani menoleh kepada gadis di sampingnya. "Yun, tolong masakkan pisang goreng buat bapakmu," ujarnya, demi membuat Yun menjauh.

Gadis itu tersenyum, lalu melangkah pergi. Setelah Yun menghilang dari pandangan, Suryani melanjutkan pembicaraan.

"Sebenarnya banyak hal yang bikin dia stres. Lagipula, dia punya kakak yang sakit serupa."

"Oh, Yanuar? Yanuar sudah sembuh, kok. Kemarin kami dapat orang pintar dari Pangkalan Bun. Hebat banget, Mbak. Semua yang 'menempel' di badan Dani sudah dibersihkan tuntas." Sesudah itu, Mulyono bercerita panjang lebar tentang kesaksian orang-orang yang sembuh dari berbagai penyakit berkat bantuan si dukun.

Suryani hanya mengeluh dalam hati karena sudah malas berdebat. Semua penjelasan tidak berguna bagi orang berpikiran sempit seperti ini. "Baguslah kalau begitu," ujarnya datar.

"Nah, saya datang untuk menjemput Yun, Mbak. Dia mau saya bawa ke sana juga. Sebelum datang ke sini saya sudah konsultasi sama orang pintar itu. Ternyata penyakit Yun juga 'dibuat' orang."

Kontan hati Suryani membengkak memenuhi dada. Sesak. "Dibuat orang gimana?"

"Dia bilang, ada yang suka sama Yun, tapi ditolak, lalu sakit hati. Dia dikirim 'barang-barang' dari daerah Hulu Sungai sana."

Suryani tetap saja ternganga walau sebelumnya sudah menduga. Betapa absurd pembicaraan mereka.

"Terus, nggak cuma satu orang katanya. Ada lagi orang yang nggak setuju anaknya suka sama Yun, lalu kirim gangguan."

Nama Widya dan Ismet sempat tercetak dalam benak Suryani. Tapi, ia tidak percaya dua orang terpelajar itu akan menggunakan dunia mistis untuk memisahkan anaknya dari Yun.

"Gini, Mbak. Saya terima kasih banget sampeyan sudah membantu anak saya sekolah. Tapi, sebagai orang tua, saya juga ingin mengobatkan anak yang sakit. Jadi, kalau boleh, besok Yun saya ajak pulang ke Sebabi."

"Sebabi? Kotawaringin Barat? Bukannya kalian ...."

"Oh, saya belum kasih kabar. Saya dan ibunya Yun sudah pindah perusahaan. Sekarang kami kerja di Sebabi. Tapi masih masuk lagi, ke tengah hutan."

"Perusahaan sawit juga?"

"Iya, Mbak. Mau kerja apa lagi? Lulusan SMP dan SD kayak kami ya paling banter jadi buruh sawit."

Entah mengapa, Suryani merasakan firasat kurang baik. "Tapi, Yun masih harus berobat dan kontrol rutin."

"Aaaah, sudahlah, Mbak. Buktinya Yanuar sudah berobat bertahun-tahun nggak ada kemajuan. Medis memang bagus, tapi kalau ditambah alternatif kan lebih bagus lagi."

"Mul, penyakit Yun nggak sama dengan Yanuar. Yanuar itu sudah kena skizofrenia berat, susah pulih lagi. Kamu tahu kenapa begitu? Karena terlambat diobati. Coba dari awal telaten terapi, pasti sembuh. Nah, jangan sampai Yun ngalami nasib seperti kakaknya. Cukup satu saja korbannya."

"Loh, korban gimana? Saya ini berniat baik, kok! Biar mereka anak tiri, saya sudah menganggapnya anak kandung sendiri!" Mulyono membalas dengan nada tinggi. "Jangan dikira sebagai keluarga kami menelantarkan Yanuar. Kami urus, kok. Tapi ya karena kemampuan cuma segini, mau gimana lagi. Berobat ke Banjarmasin itu butuh uang banyak. Kalau hanya harga obat, kami sanggup. Yang berat itu ongkos perjalanan pulang-perginya. Kalau dijumlah banyak, Mbak!"

"Gini, Mul. Kalau kamu memang sayang sama Yun, jangan diajak ke mana-mana. Serahkan saja sama saya. Saya sanggup mengobatkan dia sampai tuntas. Kamu nggak usah repot-repot, nggak usah keluar biaya. Ditabung saja uangnya buat biaya adiknya Yun."

Mulyono melengos sambil mengeratkan rahang. Suryani tahu, lelaki ini tidak percaya pada kata-katanya.

"Mul, kamu lihat sendiri, Yun sudah membaik. Kondisinya jauuuuh lebih baik dari Yanuar, 'kan? Jangan sampai karena kamu bawa pulang kampung malah putus obat. Udahlah, percaya saja sama saya. Kalau tidak, kamu dan istrimu akan menyesal, loh. Yun itu satu-satunya keluarga kalian yang bisa sekolah tinggi. Jangan sampai sakit berlarut-larut. Sayang banget!"

Mulyono tetap melengos, malah sekarang ditambah menggumam. "Halah! Obat medis itu kan racun."

"Kok racun? Dibanding dukun-dukun kamu itu gimana? Ya kalau orang pinter beneran. Kalau cuma pinter nipu?"

Mulyono menoleh dengan wajah merah padam. "Mbak, saya nggak bermaksud nggak sopan sama sampeyan. Tapi jangan menghina keyakinan saya! Saya tahu, saya orang bodoh, sekolah SMP nggak lulus. Tapi soal dunia halus, nggak perlu sekolah, Mbak! Saya lebih tahu dari sampeyan!"

Suryani malas menjawab lagi. Percuma. Dulu, mereka sudah berniat mengambil Yun saat lulus SMA. Katanya mau dinikahkan dengan anak tetangga kampung. Yun sampai menangis ketakutan. Suryani mati-matian mempertahankan anak itu agar tetap di Banjarmasin karena Mulyono setengah memaksa. Ia datang membawa tiga lelaki yang katanya dari keluarga calon mempelai pria. Karena ia janda dan tinggal seorang diri bersama Yun, Suryani terpaksa memanggil Pak RT dan tetangga untuk membantu.

"Dari dulu saya sudah ngira hasilnya begini!" tukas Mulyono lagi. "Yun nggak kuat sekolah tinggi. Buktinya apa? Dia stres kan sekarang? Siapa yang dulu ngotot nyekolahin Yun? Sampeyan, 'kan? Kalau sudah kejadian gini, siapa yang mau tanggung jawab?"

"Kamu ini gimana, sih, Mul? Yun ikut saya. Sudah jelas saya yang tanggung jawab!" Suryani kehabisan stok sabar sekarang.

Mulyono tetap memasang wajah sinis. "Ya sudah kalau itu niat sampeyan. Tapi, kalau sampai Yun nggak sembuh juga, saya terpaksa bawa dia pulang!"


////////////////////

Jangan lupa vote, komen, dan share. Dukung Fura, ya .... tks!

Magamon InsafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang