= Banjarmasin, 2036 =
Hidup itu penuh kejutan. Acap kali, lembaran baru dimulai tanpa terduga, tanpa persiapan, bahkan dianggap sebagai gangguan. Hal yang mengusik itu sekarang berdiri tepat di hadapan Faisal. Dari balik layar laptop dan tumpukan kuesioner di meja, tampak Yunida berdiri tegak, lengkap dengan senyum manis dan mata berbinar. Kulit kuning terangnya semakin cerah karena mengenakan rok terusan dari kain tenun Sasirangan[1] berwarna kuning yang dilapisi jas Koas berwarna putih. Sosok itu cemerlang, sangat kontras dengan kondisi ruangan Faisal yang penuh tumpukan berkas, buku, dan berbagai kardus. Belum lagi cat dindingnya yang putih polos, semakin menambah kesan kusam.
"Kamu? Ada perlu apa?" tanya Faisal. Tangannya meraih sebuah berkas kuesioner yang menggunung di meja. Walau sudah melatih enumerator dan memastikan mereka bisa mengumpulkan informasi dengan baik, ia merasa harus mengecek sendiri data primer itu untuk dicocokkan dengan angka-angka yang diinput di komputer. Kedatangan Yunida jelas merusak konsentrasi, lebih dari apa pun. Apalagi saat teringat kejadian tadi pagi, hatinya menggondok.
"Tadi pagi Dokter memanggil saya menghadap siang ini," sahut Yunida. Sama sekali tidak ada aura takut di wajah gadis itu. Diam-diam Faisal kagum dengan mentalnya. Sayang, ia merasa gadis ini menantang minta ditindas. Padahal ia harus menjaga kewibawaan sebagai dosen. Mengganggu sekali!
"Oh, itu," sahut Faisal datar, kemudian kembali memandang layar laptop. Hanya mata saja yang terarah ke situ. Otaknya tidak, justru memikirkan bagaimana mengurus gadis ini. "Silakan duduk. Ada yang harus saya kerjakan."
Dari sudut mata, terlihat Yunida duduk di depan meja Faisal. Ia tampak tenang, walau sorot matanya menunjukkan sedikit keheranan. Makhluk indah itu tanpa sadar membuat Faisal mencuri pandang ketika mengambil kuesioner. Sekali, dua kali, tiga kali. Ternyata setiap melakukan itu, matanya beradu pandang dengan Yunida.
Kamu lihat aku terus, Yun? Suka?
Sudut bibir Faisal terangkat sedikit. Kontan, jiwanya menggelegak kembali seperti belasan tahun yang lalu saat ia masih mengendarai sepeda motor, bolak-balik dari rumah-sekolah-rumah Yun-nya. Ah, sensasi rengkuhan tangan itu masih hangat di pinggang. Kepala yang rebah di punggung pun masih terasa sangat jelas.
Betapa cepat waktu berlalu. Enam belas tahun terlewati begitu saja karena kesibukan sekolah, menangani pasien, mengajar, dan melakukan penelitian. Kalau dipikir-pikir, ia masih merasa berumur belasan. Ya, ia harus jujur mengakui bahwa jiwanya masih selabil dan semembara remaja delapan belas tahun.
Beberapa menit berlalu. Yunida terlihat gelisah. Akhirnya, Faisal meletakkan kuesioner, kemudian menutup laptop.
"Kamu tahu kenapa saya panggil ke sini?"
Yunida menatap dengan mata bundar polosnya. "Tidak, Dok." Jawaban itu singkat dan diucapkan tanpa ragu.
Luar biasa cewek ini!
Tidak jelas apakah itu pujian atau keluhan. Yang pasti, Faisal terganggu oleh sikap tegas itu.
"Saya salah apa sama kamu?" tanya Faisal.
Pertanyaan itu mengagetkan Yunida. Gadis itu tidak menjawab, malah balas menatap sejenak, kemudian membuang muka ke arah lain.
"Saya tahu kamu kesal tadi pagi. Benar, 'kan?" tuduh Faisal. Ia tidak peduli bila dianggap sensitif. Coba saja Yunida mengelak, akan ia cecar lebih gencar.
"Mmm, saya cuma ... kurang suka dipanggil Yun," jawab Yunida akhirnya.
Alis Faisal terangkat. "Ooooh! Maaf. Kenapa kalau boleh tahu?"
Yun mengangkat bahu. "Aneh, Dok. Rasanya seperti tukang sayur."
Faisal ingin tertawa. "Oh, masa? Bagi saya nama panggilan itu bagus. Lagipula, saya tidak mengada-ada. Yun itu bagian dari namamu. Kenapa kesal?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Magamon Insaf
RomanceMagamon. Manusia Gagal Move On. Faisal Elvano, dokter ahli jiwa sekaligus dosen FK, telah menyandang gelar itu sejak cinta pertamanya kandas lima belas tahun yang lalu. Sekarang usianya 33 tahun dan masih belum ada tanda-tanda ia akan melepas masa l...