20. Seismograf (2)

335 88 54
                                    

Makanan pesanan Faisal datang tak lama kemudian. Kepiting ikan asin. Aroma sedap menguar menimbulkan rasa lapar.

"Silakan, Bang," ujar Yunida. "Saya ke belakang dulu, mau bikin sushi."

"Loh, kamu harus temani saya makan," cegah Faisal.

"Abang minta dibikinin sushi, 'kan?"

"Kenapa nggak minta tolong anak buah? Kamu di sini aja."

"Mereka nggak bisa bikinnya."

Faisal mengembuskan napas dengan mimik kecewa. "Sushi-nya batal kalau begitu."

Yunida geli. Di balik sosok kekar Faisal, tersembunyi jiwa remaja yang manja.

"Besok datang lagi, Bang. Tapi, telepon dulu, biar saya siapkan sebelumnya."

Faisal hanya berdecak, tanpa membalas ucapan. Tingkah itu benar-benar membuat Yunida terkekeh. Ia seperti menghadapi pacar yang merajuk.

"Jangan ketawa, nanti kamu tersedak," tegur Faisal.

Mata Yunida semakin menyipit karena senyumnya semakin lebar. Sejak makan siang bersama tempo hari, seperti ada ikatan yang membuat dirinya dan dosen di depannya sangat dekat.

"Loh, masih ketawa? Seneng banget karena aku datangkah?" tanya Faisal dengan wajah datar seperti biasa.

"Jujur, iya, saya senang. Abang enggak?"

Mata Faisal semakin membulat. Yun yang ini benar-benar tidak punya urat malu. "Menurutmu?"

Yunida cuma cengar-cengir sambil menyuap nasi tanpa memedulikan tatapan tajam Faisal sehingga lelaki itu terpaksa meredam rasa geregetan.

Faisal menyantap kepiting yang gurih itu. Cita rasanya masih sama persis seperti enam belas tahun yang lalu. Kagum juga ia akan kemampuan mereka mempertahankan kualitas selama bertahun-tahun.

"Gimana, Bang? Masih enak kayak dulu, 'kan?" tanya Yunida.

Faisal mengangguk saja karena mulutnya penuh dengan nasi dan kepiting.

"Sekarang ada beberapa varian. Ada kepiting telur asin dengan topping keju, kepiting telur asin pedas sampai level 10, kepiting telur asin kuah jagung, dan kepiting telur asin topping kelapa bakar."

Kedua alis Faisal kontan terangkat. "Hebat!"

Selanjutnya, keduanya tenggelam dalam kesibukan menyantap hidangan. Seorang pelayan tiba-tiba datang membawa sepiring jelawat saus bawang.

"Mmm, saya nggak pesan ini," ujar Faisal.

"Oh, saya yang minta. Katanya Abang udah lama nggak makan ini," jawab Yunida dengan riang. Ia tidak tahu, makanan itu menimbulkan kenangan buruk Faisal menyeruak ke masa kini.

"Ah, iya. Terima kasih." Faisal terpaksa menelan kepahitan diam-diam. Ia tidak ingin merusak suasana indah sore ini dengan kepedihan.

Yunida mengambil sepotong, lalu meletakkannya di piring Faisal. "Kalau yang ini, masih sama kayak dulu, nggak?"

Faisal mencicipi sambil mengamati Yunida yang menyuap daging ikan goreng tersebut. Cara makannya sangat berbeda dengan Yun-nya. Gadis ini menyuap dengan santai dan mengunyah dengan cepat. Berbanding terbalik dengan Yun yang serba perlahan. Biarpun begitu, ia tetap geregetan.

Sayup-sayup, "Dynamite" melantun dalam kalbu Faisal. Lagu itu kini mendatangkan efek ganda, yaitu kenangan masa lalu dan harapan masa depan. Aneh. Faisal tahu, Yunida-lah yang membawa harapan masa depan itu. Yang ia tidak paham adalah bagaimana hatinya menjadi yakin secepat ini.

Magamon InsafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang