7. Luka Berdarah

460 95 35
                                    


= Banjarmasin, 2020 =

Yun menatap nanar pada remaja tanggung di depannya. Untuk urusan bodi, bolehlah. Sudah mirip laki-laki. Dadanya bidang, sepertinya rebahable banget. Tapi sayang, kelakuan jelas kekanakan. Sorot mata terlalu percaya diri itu buktinya.

"Kamu nggak kangen aku, Kak? Padahal aku mimpiin kamu terus, loh," bujuk Faisal.
Dipikirnya Yun akan terkesan, lalu balas merayu.

Dasar ABG labil, rutuk Yun dalam hati. "Hubungannya apa, sih, Dek?"

"Hubungan sayang dong, Kak." Faisal meringis.

Yun sontak merasa mual. Rayuan gombal apa pula ini? Belum lagi aroma nikotin yang tercium keras. Yun kontan menutup hidung dengan tangan. "Kamu ngerokok, Dek?"

"Oh, Kakak nggak sukakah? Beres, aku buang, nih."

Faisal merogoh kantung jaket, mengeluarkan sebungkus rokok yang tadi ia gunakan untuk membunuh waktu di parkiran. Bungkusan itu dibuang ke tong sampah terdekat. "Nah, udah."

Yun semakin menautkan alis. Apa dipikir setelah membuang bungkus rokok lantas kecanduannya lenyap?

Orang aneh!

Yun langsung bergegas menuju sepeda motor. Tanpa menghiraukan Faisal yang ternganga karena ditinggal, ia menstater mesinnya.

"Kak, Kak! Sabar, jangan sewot. Aku mau ngomong bentaaaaar aja."

"Enggak! Minggir!"

"Loh, loh. Tunggu!" Tangan Faisal menahan setang motor Yun.

Melihat pemaksaan itu, hati Yun langsung menciut. Jangan-jangan ia menghadapi psikopat. Ditepisnya tangan Faisal dengan kasar.

Pegangan Faisal pada setang terlepas. Bukan karena kerasnya tepisan itu. Sebenarnya, sentuhan tangan mungil Yun malah membuat hatinya berdebar.

Tangannya lembuuut, adududuh!

Yang membuat Faisal mundur adalah kilau mata resah. Jelas itu bukan sewot manja biasa. Yun seperti ... ngeri?

Deru sepeda motor Yun yang keras menyertai laju kepergian gadis itu. Faisal termangu. Pasti semua ini salahnya. Mungkin sikapnya terlalu memaksa. Mungkin pula Yun alergi bau rokok sehingga mual-mual. Kalau begini, bisa gawat. Ia harus mencari strategi baru.

Hari-hari selanjutnya, Faisal benar-benar 'berburu' Yun. Ia berkenalan dengan teman-teman seangkatannya. Sebagai putra salah satu dosen di situ, ia tidak kesulitan untuk berbaur. Dari teman-teman Yun, ia tahu bahwa gadis itu pemalu dan pendiam. Hobinya membaca. Faisal bahkan tahu selera Yun, yaitu bacaan yang berat-berat. Ia pergi ke toko buku. Demi Yun, ia rela membeli benda yang paling tidak dilirik selama ini. Buku psikologi, pengembangan kepribadian, dan novel sastra. Demi Yun pula ia membaca puisi-puisi klasik.

Secarik kertas bergambar hati yang dibuat dengan spidol disisipkan pada sebuah buku yang dibeli. Dalam perkiraannya, Yun tidak akan suka novel-novel populer seperti karangan Tere Liye atau Titi Sanaria. Jadi, ia memilih buku lama, Kahlil Gibran. Sambil mulut cungar-cungir membayangkan reaksi Yun, Faisal membungkus buku beserta pesan cinta menggunakan kertas kado cinta pula. Tak lupa, sebuah bunga pita disematkan di sisi kiri atas.

☆☆☆

Malam yang kelam. Cukup lama Yun membolak-balik badan di kasur. Pegal semua sekujur tubuh. Padahal hari ini cuma membaca beberapa jurnal dan duduk di depan komputer. Tapi tetap saja tinjauan pustaka tidak selesai. Yang didapat malah rasa kesal dan kepala pening. Kenapa Bu Wid tidak meloloskan saja proposalnya? Apa memang seburuk itu tulisannya?

Padahal ia ingin cepat-cepat lulus supaya bisa kerja. Kasihan melihat nenek di kampung sendiri mengurus kakak yang sakit. Nenek renta itu sendiri sudah kepayahan bila berjalan jauh. Ada yang tidak beres pada sendi lututnya. Katanya ngilu sekali, semacam engsel yang karatan.

Yun pun akhirnya terlelap. Dalam tidur pun ia tak tenang. Beberapa kali mengigau dan membolak-balik posisi. Sebuah bayangan hitam mendekati pintu. Yun kaget dan seketika ketakutan. Ia ingin berteriak. Apa daya rahangnya kaku. Suara yang ingin dikeluarkan tertahan di tenggorokan.

Bayangan hitam itu mendekat, bergerak halus seolah melayang. Rasa takut semakin mencengkeram. Keringat dingin membulir di kening. Yun ingin lari, tapi badannya kaku, seperti disemen ke kasur. Sosok serupa asap hitam itu menyentuh, menyusupkan zatnya ke balik kaus dan celana Yun ....

"Aaakkkhhh!" jerit tertahan akhirnya keluar dari mulut Yun. Bersamaan dengan itu, kesadaran pulih. Yun terduduk meringkuk di kasur dengan mendekap tungkai. Mimpi berulang ini sangat mengganggu. Kalau sudah begini rasanya seluruh kekuatan direnggut dan masa depan menjadi suram.

"Kakek ...," rintihnya.

Memori kelam seperti diburai ke permukaan. Kenangan akan kejadian suatu malam yang dingin. Saat ibunya sudah diusir dari rumah sekitar sebulan. Mereka hanya bertiga di rumah itu; dirinya, kakak yang bernama Yanuar, dan sang ayah. Yun ingat, rumah serasa mati setelah ibunya pergi.

Tengah malam, ia terbangun karena kasurnya berguncang. Seseorang menyelinap ke balik kelambu, lalu berbaring di sisinya. Yun membuka mata. Dalam keremangan kamar, sangat jelas bahwa itu ayahnya.

"Bapak?"

"Sssshhhh! Udah, tidur aja!"

Tangan ayahnya mendorong bahu Yun untuk miring dan berbaring memunggungi. Tangan kekar kemudian melingkar di pinggang, memeluk dari belakang. Ia tidak curiga. Dipikirnya sang ayah benar-benar ingin tidur dengannya. Sewaktu masih kecil dulu, ia kerap sekasur bersama ayah dan ibu. Yun terlena kembali.

Tak lama kemudian, rasa geli membangunkan Yun. Ternyata tangan ayahnya telah merayap ke dada. Sepasang gunung mungil, yang membusung dan tak terlindung bra, tengah diremas-remas. Yun menggeliat ingin menjauh. Tapi tangan ayahnya menahan. Lengan yang satu malah menyusup ke bawah leher, menarik kepalanya, sehingga semakin dalam membenamkan tubuh mungil itu di gulungan tubuh kekar.

Yun saat itu masih remaja tanggung berumur tiga belas. Ia sudah mengenal cinta dan mengalami menstruasi. Naluri primitif yang dirangsang hormon itu mengajarkan dengan tepat apa yang akan terjadi selanjutnya. Apalagi kalau bukan membuat bayi.
Tangan kekar kini berpindah ke bawah dengan perlahan. Menyusup ke balik celana dalam. Yun tersentak, seketika sadar akan datangnya bahaya.

"Ah? Bapak?"

""Ssshhhhh! Diam kamu!"

"Aaakkkh!" Yun berusaha menyingkirkan tangan yang mengobok area sensitifnya.

"Diam, atau minta dipukul, ha!?!"

"Aaaakkkhhhh!" Yun berteriak sekencang mungkin.

Siku disodokkan sekuat tenaga ke belakang. Usaha itu berhasil. Dada ayahnya menjadi ngilu. Pelukan merenggang. Di saat kritis itu, Ia berhasil keluar dari kelambu. Dengan kalut, ia berlari ke pintu keluar. Tangan gemetar saat membuka gerendel sehingga beberapa kali gagal membuka.

Ayahnya sudah bangun dan mencapai ambang pintu kamar. Saat itulah, Yanuar terbangun karena suara gaduh yang ditimbulkan. Pemuda itu keluar kamar dan menemukan adiknya berlari keluar sambil menangis. Lelaki muda itu masih cukup cerdas untuk menduga apa yang terjadi.

"Bapak!" sentaknya.

Yun tidak menoleh lagi karena ketakutan. Yang ia dengar setelah itu adalah suara bak-buk-bak-buk dan rintihan kakaknya. Seingatnya, Yanuar tidak pernah pulih setelah peristiwa malam itu. Tidak hanya kakaknya, dirinya pun menyimpan kejadian itu sebagai luka yang terus berdarah.

Pagi menjelang. Neneknya menemukan sang cucu meringkuk dan menggigil di teras rumah.

"Yun? Kenapa kamu?"

Yun tak sanggup menjawab. Bahkan air mata pun telah kering.


/////////////////

Mari lindungi adik-adik kita dari kekerasan seksual oleh orang-orang terdekat. Pendidikan seks yang baik sejak dini akan membuat mereka lebih mampu menjaga diri. Terutama untuk mendeteksi gelagat pelecehan dan mencegah kejadian.

Magamon InsafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang