Nesa POV:
Pelajaran pertama, sejarah. Pelajaran yang membosankan bagi seluruh murid kelas 3IPA1. Dan hari ini tema Buk Hesti adalah mengenai pelanggaran HAM pada masa orde baru. Yang terkutuknya adalah... aku nggak tau apa-apa soal ini! Aarrgghh!! Pelajaran sejarah selalu sukses membuat otakku berputar-putar nggak jelas dan akhirnya membuat gejolak di perutku berubah menjadi rasa mual yang luar biasa. Layaknya naik hysteria di Dufan, itulah yang aku rasain sekarang.
“Vanessa Anindhita!” Buk Hesti membaca nama terakhir di absen dengan suara lantang dan menggelegar seisi kelas, “Coba kamu jelaskan peristiwa apa yang kamu ketahui mengenai pelanggaran HAM pada masa orde baru.” Krik... krik... seisi kelas diam tak berkutik saat namaku dipanggil. Aku merasa bagaikan berada di dalam sarang singa sekarang, semua mata malah tertuju kepadaku. Hhh... kayaknya Buk Hesti dendam banget deh sama aku. Padahal namaku adalah nama paling akhir di absen, harusnya nama yang pertama dipanggil adalah nama yang paling teratas di absen. Nah ini, kok malah kebalik sih?
“Kok kamu malah bengong?!” Buk Hesti ternyata serius! Dia nggak becanda nyuruh aku maju ke depan kelas. Gawat! Mana tadi malam aku nggak nyentuh buku sejarah sama sekali. Apa nasibku pagi ini? Bakal di telan bulat-bulat sama Buk Hesti nih.
“Ng... buk....” aku mencoba angkat bicara, “Saya... belum... siap... buk....”
BUM!!
Terdengar suara lemparan penghapus papan tulis ketika Buk Hesti sedang menghapus papan dan mendengar aku -sang murid teladan- berkata begitu. Satu kelas pada melotot terkaget-kaget saat penghapus itu dijatuhkan ke lantai dengan kasar dan penuh amarah. Bukan cuman anak-anak kelas yang melotot, Buk Hesti juga sedang melotot sekarang, tepatnya ke arahku.
“Maju kamu!” seru Buk Hesti dengan rahang terkatup rapat saat menyuruhku maju. Tria yang berada di sampingku langsung menyikutku pertanda menyuruhku untuk maju.
“Lo maju aja dulu, ntar gue bantu.” Bisik Tria yang sama sekali nggak berani melirikku karena terlalu tegang dengan emosinya Buk Hesti pagi ini. Haduh, ni guru tadi sarapan apa sih? Bom atom ya? Radiasinya kuat banget, sampe anak-anak kelas pada nggak berani menoleh ke arah sumber masalah, yaitu aku. Dengan setengah hati, aku mensugestikan otot-ototku untuk tetap tenang dan melangkah ke depan kelas dengan penuh rasa santai. Tapi ternyata jantungku nggak bisa diajak kerjasama saat ini. Ia terus berpacu cepat diluar kontrol.
Dan kini aku berdiri di hadapan 31 orang murid, ditambah satu guru super killer yang kapan aja bisa menyantapku dengan senang hati. Otak blank, jantung dag-dig-dug, kaki nggak sanggup berdiri, dan kepala pusing tujuh keliling. Lengkap sudah! Dalam hitungan lima... empat... tiga... dua... satu....
“Cepat jelaskan!!” teriak sang ratu singa –Buk Hesti-, yang udah bisa ku duga pasti akan habis-habisan memaksaku untuk buka mulut.
“Ng... jadi... banyak sekali pelanggaran HAM yang... yang....”
Duh Nesa, sebenarnya lo mau ngomong apa, sih?!
Aku kalang kabut sendiri jadinya, dengan tangan yang saling meremas satu sama lain, pandanganku nggak lain nggak bukan tertuju ke Tria yang tadi janjinya bakal bantuin aku untuk ngomong di depan kelas. Oh Tuhan, andaikan aja telepati itu beneran ada, aku pengin banget bisa telepatian sama Tria saat ini!
Aku menyimak ke arah mulut Tria yang sepertinya sedang memberitahu aku sesuatu mengenai pembahasan bodoh ini. Tapi apa yang dia bilang? Aduh... tuh anak nggak jelas banget komat-kamitnya? Aku menaikkan bahu pertanda nggak ngerti ke Tria. Oke, mungkin udah saatnya aku merangkai kata-kata sendiri. Yang aku tau tentang pelanggaran HAM pada masa Soeharto dulu, cuman tentang Trisakti doang. Itu pun aku juga nggak tau jalan cerita yang sebenarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
On The Love-Line
Teen FictionSelalu dia. Entah kenapa selalu wajah dia yang muncul di otakku ini. Walaupun track recordnya sebagai musuh udah aku hapuskan semenjak dia minta maaf. Dia-lah yang terpenting. Hal yang nggak boleh hilang di hidupku, bahkan ketika aku mencintai lagi...