Author POV:
Ujian semester yang diakan selama seminggu ini membuat suasana dan otak Nesa jadi nggak mood dan mau pecah. Bukan cuman Nesa yang merasa gitu, sahabat-sahabatnya yang lain pun juga merasa stres. Tapi untungnya hari ini adalah hari kedua terakhir mereka menghadapi ujian semester. Dan besok pun mereka bisa aja santai, karena mata pelajaran yang di ujiankan adalah kesenian dan olahraga. Cukup mudah... bahkan mereka nggak perlu belajar untuk dua mata pelajaran itu.
“Jadi si Renno nggak ikut ujian ya?” tiba-tiba Tria membahas soal Renno ketika mereka jalan menuju parkiran.
“Kok tiba-tiba lo ngomongin Renno?” tanya Nesa sewot.
“Nggak tau,” Tria mengangkat bahunya, “Gue penasaran aja. Lagian, dia satu ruang sama kita pas ujian.”
“Mungkin dia ikut susulan kali,” Nesa menjawab dengan perasaan nggak mood.
“Lo masih marah sama dia?”
“Nggak, biasa aja.” Nesa menjawab lagi, masih dalam keadaan nggak mood. Tria cuman mengangguk-angguk pura-pura ngerti, padahal Tria sama sekali nggak ngerti apa yang Nesa rasakan sekarang.
“Kayaknya lo udah dijemput tuh, Nes.” Sahut Tria saat ngeliat mobil dinas nyokap Nesa yang terparkir mulus di depan gerbang sekolahnya.
Nesa ikut menoleh ke arah Tria menoleh tadi, “Gue balik duluan ya.”
***
Nesa POV:
Mobil siapa ini? Aku bertanya dalam hati saat ngeliat mobil sport warna merah terparkir di dalam pekarangan rumahku. Mungkin mobil temennya kak Choki. Aku menoleh cuek dan kembali berjalan masuk ke dalam rumah. Tapi sesuatu ngebuat aku kaget saat melihat Mama bicara sama seorang cewek yang ku kenal sebagai si tomboy Candiza.
“Hei Nesa!” sapa Diza riang saat melihat aku terdiam di tempat.
“Sejak kapan lo disini?” aku bertanya heran ketika Diza langsung bangun dan memelukku erat. Berarti mobil sport diluar tadi rupanya mobilnya Diza.
“Dari kemarin,” sahut Diza sambil terus mendekapku di pelukannya.
“Kok gak bilang-bilang sih? Kan bisa gue atau kak Choki yang jemput.” Aku tersenyum gembira saat melepaskan dekapan Diza.
“Ah, bikin repot aja. Gue kan masih punya supir disini.” Jawabnya riang. Nggak ada perubahan banyak dari si tomboy ini. Dia masih aja bersikap ala tomboy, walaupun pakaiannya sekarang udah lumayan memperlihatkan jati dirinya sebagai perempuan. Rambutnya yang dulu pendek se pendek pendeknya, sekarang udah lumayan bisa dikuncir ke belakang. Hah! Pergaulannya di Singapura udah lumayan mengubahnya jadi cewek.
“Lo... beneran cewek ya.” Aku tercengang ketika meneliti Diza dari bawah ke atas.
“Pada dasarnya gue memang cewek, tapi baru aja sadar waktu ambil kelas kepribadian di kampus gue. He he he.” Jawab Diz asal. Mama yang sedari tadi duduk, kemudian bangun menuju ke arah kami berdua.
“Sekarang kan udah ada Nesa, Tante tinggal pergi dulu ya, mau ngurusin butik nih.” Sahut Mama ke Diza.
“Wah... Tante buka butik ya? Kayaknya bisa nih nanti aku belanja di butik Tante.” Canda Diza sambil tertawa riang. Aku memelototinya dengan rasa nggak percaya. Diza benar-benar mau jadi cewek rupanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
On The Love-Line
Teen FictionSelalu dia. Entah kenapa selalu wajah dia yang muncul di otakku ini. Walaupun track recordnya sebagai musuh udah aku hapuskan semenjak dia minta maaf. Dia-lah yang terpenting. Hal yang nggak boleh hilang di hidupku, bahkan ketika aku mencintai lagi...