Chapter 22 - Misunderstood

4.1K 72 0
                                    

Davi POV:

Aku mengaku ini adalah total kesalahanku. Hhh... nggak seharusnya aku mau merespon pelukan dari Helene. Tapi aku juga nggak bisa melepaskan pelukannya itu. Entah kenapa hatiku tiba-tiba tergerak ingin menolong dan menenangkannya. Racun apa yang dia suntikan ke otakku sekaligus? Tapi di satu sisi, aku benar-benar bersyukur dia menyadari kesalahannya.

-Flashback-

                “Mimpi gue aneh banget, Vi. Gue mimpi nyawa Renno nggak tertolong lagi, kemudian arwah bayi yang pernah dikandung Verina menghantui gue dan juga arwah Renno yang selalu meminta gue untuk mengembalikan plasentanya. Gue takut, Vi. Gue jera, gue inshaf.” Ucap Helene dengan ketakutan sambil melihat kanan-kiri, seakan-akan memang ada arwah bayi yang pernah dikandung Verina yang sedang mengikutinya dari belakang.

                “Beberapa belakangan ini, gue merasa selalu diganggu dan diikuti sama hantu semacam tuyul. Gue benar-benar ketakutan, Vi. Tolongin gue.” Ucapnya lagi. Sedangkan aku masih terpaku terdiam mendengar pengakuan Helene.

                “Gue tau gue salah, gue cewek kurang ajar dan juga bejat. Tolong sampaikan permintaan maaf gue ke Renno karena gue udah siksa dia selama ini. Dan....” Helene mengeluarkan sesuatu dari kantongnya. Semacam sebuah botol yang berisi air dan juga plasenta di dalamnya. Ya! itu memang plasentanya! Aku menerima serahan plasenta itu dari tangan Helene yang terasa dingin dan bergetar.

                “Tolong berikan ini ke Renno. Maafin gue karena gue pernah buat elo kesal hanya karena plasenta ini.” Pintanya lagi dengan iba. Entah dia sedang berakting sekarang atau nggak, tapi aku benar-benar nggak tega melihatnya. Karena dia kelamaan menunggu responku, dia langsung berlutut di kakiku dan mencengkeram erat pergelangan kakiku sambil memohon menghambakan diri.

                “Eh... eh... udah dong jangan gitu.” Aku membantunya berdiri sambil memegangi bahunya.

                “Maafin gue, Davi. Tolong maafin gue. Gue nggak mau diganggu lagi sama arwah bayi Renno. Gue takut Renno benar-benar nggak terselamatkan tanpa plasenta itu. Segera berikan plasenta itu ke Renno, gue terlalu takut memberikan sendiri plasenta itu ke Renno. Gue takut dia bakal usir gue secara kasar.” Jadi Helene belom tau kalau Renno udah dapetin pendonor sumsum tulang belakang dan operasinya sukses? Yaa... mungkin aja kali ya, mengingat memang banyak orang yang belom tau tentang kabar ini kecuali wali kelas Renno dan anak-anak Skeleton. Lebih baik aku merahasiakan hal ini dulu dari Helene.

                “Yaudah, gue maafin elo kok. Gue bakal sampaikan permintaan maaf lo ke Renno dan menyerahkan ini,” aku memperlihatkan plasenta yang dia berikan tadi.

                “Makasih banyak ya, Vi. Makasih banget.” Sesegera mungkin Helene menarik tubuhku ke dalam pelukannya. He? Apa-apaan ni cewek? Tapi aku juga nggak tega melepaskan pelukan ini sedangkan dia menangis terisak-isak di pelukanku sambil mengucapkan terima kasih ribuan kali dan lafal hamdalah. Tapi semuanya malah jadi runyam saat Nesa menonton aksi ini dan mengartikannya dalam konteks lain.

                “Apa-apaan nih?!” nadanya shock, semakin meninggi, badannya bergemetar seakan-akan ingin mengeluarkan sesuatu yang bergejolak di dalam hatinya. Buru-buru aku melepaskan pelukan Helene tadi, dan berdiri kaku di tempatku sendiri.

                “Nes!” jelas aku shock melihat Nesa yang berdiri di depan koridor. Nesa pasti sedang berpikir yang macam-macam. Buktinya, dia langsung lari dari hadapanku, sementara Helene juga ikut-ikutan lari menyusul Nesa.

                “Hey... lo jangan kemana-mana. Biar gue aja yang susul dia.” Ujarku sambil menarik tangan Helene dan mencegahnya untuk pergi.

On The Love-LineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang