Chapter 35 - Fighting For Love

4.2K 79 0
                                    

Author POV:

Nesa berjalan keluar dari toilet dan langsung berjalan ke luar pintu restoran tanpa menoleh sedikitpun ke arah Ario yang kini meliriknya dengan penuh heran. Bahkan tadi Davi langsung pamit pulang dengan alasan nggak enak badan. Tadi Dave, sekarang Nindi. Apa yang terjadi sebenarnya?

                “Hei... hei... Nindi sayang... tunggu....” teriak Ario kecil sambil berlari mengejar Nesa. Nesa enggan berbalik ke belakang dan memperlihatkan tatanan make-up nya yang jelas-jelas luntur tak berbentuk lagi. Kemudian Ario menarik lengan kiri Nesa yang langsung membuat Nesa reflek berbalik menatap Ario.

                “Nindi, kamu kenapa sayang? Ada apa dengan kamu? Kamu menangis?” tanya Ario khawatir.

                “Aku nggak pa-pa Yo. Aku cuman mau pulang.” Ujar Nesa cuek.

                “Aku antar kamu pulang ya sayang.”

                “Nggak pa-pa Yo. Aku bisa pulang sendiri.”

                “Jangan gitu dong sayang. Kan aku yang bawa kamu kesini, aku juga dong yang harus anterin kamu pulang.” Sergah Ario cepat.

                “Nggak pa-pa Ario. Kamu balik aja ke dalam. Teman-teman kamu pasti pada nungguin,” bantah Nesa lagi, dan kemudian taksi yang Nesa pesan dengan resepsionis tadi akhirnya tiba.

                “Aku cuman butuh waktu untuk sendiri.” Ucap Nesa lagi sebelum memasuki taksi. Kini yang ada di dalam hati Ario adalah kecurigaan. Tadi Davi keluar dari toilet dan langsung pamit pulang dengan mata sembap, beberapa detik kemudian Nesa keluar dari toilet dan langsung pulang dengan mata sama sembapnya. Ada apa di antara mereka sebenarnya? Ario mulai menaruh rasa curiga terhadap mereka berdua. Kayaknya ada sesuatu yang nggak beres. Ujarnya lagi dalam hati.

***

Nesa POV:

“Gue nggak tau lagi harus gimana, Tri. Lama-lama gue bisa frustasi sebelum wisuda.” Keluhku ke Tria melalui webcam. Tadi malam aku nggak bisa tidur gara-gara mikirin kejadian semalam. Hhhh... udah dua malam aku nggak bisa tidur pulas cuman mikirin soal ini.

                “Iya gue tau lo frustasi. Mata lo sembap banget. Semalaman nangis?”

                “Bukan nangis lagi, tapi super nangis.” Timpalku ngasal.

                Tria mengangguk paham, “Lo harus bisa memilih antara keduanya. Davi... atau Ario.”

                Aku menghela napas frustasi lagi sambil menopang kepalaku dengan telapak tangan di atas meja, “Gue sayang sama Davi, sayang banget malah, tapi yaa kayak gue bilang barusan. Dia itu mau dijodohin bokapnya sama orang lain, dan bokapnya itu pernah hampir mengancam nyawa gue kalo Davi dekat-dekat gue. Dan gue juga sayang sama Ario. Gue nggak mungkin bisa milih Davi, karena itu bisa ngelukain perasaannya Ario.”

                Tria manggut-manggut mengerti, “Oke. Yang bisa gue simpulkan adalah... lo mencintai Davi, dan elo... hanya merasa kasihan dengan Ario.”

                Aku menyerngit heran. Merasa kasihan dengan Ario? Apa aku merasa demikian?

                “Ya. Lo cuman merasa kasihan sama Ario. Lo nggak cinta sama dia.” Sambung Tria lagi yang makin memperkuat keyakinannya itu, “Apa yang lo rasain selama hampir setahun jadian sama Ario? Apa lo merasa bahagia?”

On The Love-LineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang