Nesa POV:
Walaupun badan ini rasanya pegeeeel banget (akibat salah tidur di pesawat), mau nggak mau aku harus tetap ke rumahnya Diza. Aku membaca secarik undangan pernikahan itu dengan penuh kebahagiaan. Apakah ini kebahagiaan yang sebenarnya harus aku dapatkan? Ah... entahlah. Aku rasa itu masih terlalu panjang kalau untuk versi cerita hidupku. Tapi bagaimanapun juga, kebahagiaan Diza juga kebahagiaanku. Dia kan sepupu terdekatku, kami sama-sama perempuan yang sebaya dalam silsilah keluarga besar kami dari garis keluarga ibuku, jadi wajar kalau kami dibilang seperti pasangan lesbian ha... ha... ha.... Tante-tanteku semuanya pada bilang gitu. Abisnya kami deket banget sih.
“Ada yang kurang ya?” tanya Diza ragu sambil menggigit bibir bawahnya. Kenapa dia bisa bilang begitu? Oh, mungkin karena aku terlalu lama melamun menatap undangan pesta pernikahannya dengan Renno yang akan diselenggarakan sekitar seminggu lagi.
“Nggak kok, ini udah bagus banget.” Ucapku tulus sambil tersenyum, dan dibalas senyum lega dari Diza.
“Jadi lo beneran ke Machu Picchu... cuman untuk foto pre-wedding? Gue kira lo cuman becanda doang, Diz!” teriak Tria histeris nggak karuan ketika dia melihat foto pre-wedding Diza dan Renno di lembaran udangan pernikahan mereka dengan latar belakang Temple of Three Windows yang sangat bersejarah. Ya, harus aku akui ini adalah ide Renno yang paling gila. Dulu Renno pernah bilang ke aku ketika kami masih pacaran, dia bilang suatu saat nanti kalau dia akan menikah... dia pengin banget foto pre-wedding di Machu Picchu, biar semua turis di Machu Picchu tau kalau dia adalah orang yang paling bahagia di dunia. Dan tau kenapa tiba-tiba dia bisa kepikiran ide gila seperti itu? Itu karena dia sedang membaca satu majalah dan isinya tentang ulasan kota kuno Machu Picchu waktu kami lagi makan siang di kafe. Ha... ha... Renno memang orang paling gila di dunia!
“Tapi harus gue akui, ide Renno gila banget. Ke Machu Picchu cuman untuk foto pre-wedding. Psycho tuh anak.” Cerocos Tria yang sependapat denganku. Ternyata bukan cuman aku yang menjuluki Renno sebagai cowok psycho.
Tiba-tiba dari arah belakang kami, satu suara melengking milik seorang perempuan, membahana ke seluruh penjuru ruangan kamar Diza yang kini sedang dihias untuk menjadi kamar pengantinnya.
“Aduuuuuh anak-anak ingusan ini malah ngerumpi disini. Ayo... ayo keluar. Ini kamar mau direnovasi tau!” suara cerewet milik Tante Linda, adik Mamaku dan Mama Diza, mengagetkan kami bertiga. Untuk sementara waktu kamar ini sedang dihias menjadi kamar pengantin, Diza mengungsi ke kamar tamu di lantai bawah.
“Bentar lagi aku nggak jadi anak ingusan, Tante. Kan aku mau nikah.” Ralat Diza cepat sambil menampakkan wajah pura-pura ngambek ke hadapan Tante Linda.
“Tapi kan belum resmi. Kamu itu masih Tante juluki sebagai anak ingusan. Ayo keluar!” Tante Linda menarik tanganku serta tangan Diza untuk menyeret kami secara paksa keluar dari kamar si calon pengantin. Sementara Tria hanya dihujani dengan berengan mata Tante Linda yang tajam. Bukannya malah membuat Tria takut, tapi Tria malah ketawa cekikikan sendiri.
Dan terpaksa kami bertiga harus keluar dari kamarnya. Ketika begitu melihat ke luar kamar, ternyata banyak orang berbondong-bondong tengah mempersiapkan acara akad nikah Diza yang akan dilaksanakan di kediamannya. Semua keluarga-keluarga besar kami dari Bandung udah pada ngumpul disini, nggak ketinggalan keluarga besar papanya Diza dari Palembang yang ternyata malah sibuk memasak empek-empek khas Palembang di dapur. Wanginya bikin aku jadi kelaparan deh.
Di sudut ruang tamu, aku bisa menyaksikan kak Choki sedang sibuk melihat-lihat majalah dekorasi. Hmm... kayaknya Choki terlibat sebagai salah satu tim pendekor ruangan bersama Tante Emilia, kakak Mamaku dan Mama Diza yang ahli dekorasi itu. Ya, sebagai Sarjana Teknik Arsitektur Universitas Indonesia yang mendapatkan gelar Summa Cum Laude, Choki jadi kebanjiran job disana-sini. Dan sekarang Choki bekerja tetap sebagai Manager di salah satu perusahaan Interior Design di Jakarta.
KAMU SEDANG MEMBACA
On The Love-Line
Teen FictionSelalu dia. Entah kenapa selalu wajah dia yang muncul di otakku ini. Walaupun track recordnya sebagai musuh udah aku hapuskan semenjak dia minta maaf. Dia-lah yang terpenting. Hal yang nggak boleh hilang di hidupku, bahkan ketika aku mencintai lagi...