Nesa POV:
Sepanjang hari aku gelisah ketika melihat hapeku nggak ada reaksi bunyi deringan telepon dari orang yang aku harapkan. Hah! Segitu berharap kah aku dia akan meneleponku? Ya. Aku memang berharap. Hey, jujur itu lebih baik dari pada berbohong kan? Jadi lebih baik sekarang aku jujur kalau aku sangat ingin mendengar suara beratnya itu walaupun dari saluran telepon. Dan satu deringan membuatku langsung membuka selimutku untuk meraih hapeku yang tergeletak di atas meja.
Dan ternyata... Tria!
Hah! Bikin harapanku pupus aja!
“Halo,” aku mengangkat telpon itu tanpa minat, dengan suara rada-rada kayak orang baru bangun tidur.
“Lo dimana? Temenin gue cari buku yuk.”
Aku menghela napas kesal, “Aduh Tri, gue lagi capek banget nih, pengin tiduran. Lain kali aja deh. Ataupun besok.”
Aku langsung menutup telepon itu dengan sebal. Sorry, Tria. Aku malah jadi marah-marah sama Tria gara-gara Davi merusak moodku. Huuuuh... dasar Davi tukang PHP! Tukang ‘Pemberi Harapan Palsu’. Aku meletakkan lagi hapeku kue atas meja dan mulai menutup diriku dengan selimut lagi. Penginnya sih tidur siang, apalagi dengan suasana hujan deras yang mendukungku untuk tidur. Tapi rasanya mata ini nggak bisa terpejam sama sekali, gelisah dan takut kalau-kalau nanti Davi bakal telepon aku tapi akunya malah ketiduran. Hiiii mikir apa sih aku? Parno deh.
Dan hapeku berdering lagi, menggetarkan hebat permukaan meja jepara di kamarku. Haduuuh Tria lagi. Ni anak nggak ada kapoknya ya ngegangguin aku yang lagi nggak mood gini.
“Apa lagi sih, nenek tua?!” ledekku dengan menggeram.
“Lo tega banget sih nggak mau temenin gue ke toko buku?” dan sekarang Tria pake modus memelas. Basi tau nggak!
“Tri, gue lagi bete plus ngantuk nih. Besok aja lah nyarinya. Maksa banget harus nemu sekarang.”
“Lo bete kenapa?” tanya Tria yang mulai tertarik dengan nada pengin tau.
Aku terdiam sejenak, dan mungkin memang lebih baik aku nggak ngasih tau alasannya ke Tria. Kalau aku kasih tau, Tria pasti histeris kayak orang kemalingan. Ah males.
“Udah ah, gue mau boci*.” Lagi-lagi aku yang mematikan sambungan telepon itu tanpa sopan. Aku malas ngomongin soal ini ke Tria, dia bisa aja membuatku terjebak dan harus jujur buka mulut soal kenapa aku bad mood begini. Bisa-bisa Tria bakal ngeledek aku habis-habisan. Belum lagi aku menarik kembali selimutnya, hapeku berdering lagi. Gggrrhh!! Untuk ke tiga kalinya ya Tria! Kau merusak mood-ku hari ini! Aku langsung mengangkat telepon itu tanpa melihat layarnya lagi.
“Apa lagi sih Tria? Gue lagi bete bahas soal itu!!” teriakku dengan kesal, dan merasa aneh ketika responnya melambat.
“Nes...? Kamu kenapa?” suara berat khas laki-laki terdengar cemas di seberang sana. He? Kok malah suara laki-laki? Aku melirik lagi layar hapeku yang ternyata nggak muncul tulisan Tria’s Calling, malah sederetan nomor asing yang tertera di layar hapeku. DEG! Jangan-jangan... ini....
“Nes? Kamu nggak pa-pa?”
DAVI! Hatiku berteriak senang. Hampir aja aku jatuh dari tempat tidur saat nama itu terlintas dan hatiku bersorak senang.
![](https://img.wattpad.com/cover/3461859-288-k769466.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
On The Love-Line
Teen FictionSelalu dia. Entah kenapa selalu wajah dia yang muncul di otakku ini. Walaupun track recordnya sebagai musuh udah aku hapuskan semenjak dia minta maaf. Dia-lah yang terpenting. Hal yang nggak boleh hilang di hidupku, bahkan ketika aku mencintai lagi...