Nesa POV:
Terakhir kali yang bisa aku lihat, ketika dia masuk ke dalam mobil hitam itu tanpa menoleh sedikitpun ke belakang. Rasanya... jantungku seperti dirobek pisau belati tajam berulang-ulang kali dan mengeluarkan darah merah pekat sebagai pertanda kekecewaanku padanya. Ya, mungkin ini memang yang terbaik baginya. Yang aku tau hanyalah janjinya padaku. Dia akan kembali, entah kapan pastinya. Bahkan sampai sekarang pun aku nggak pernah lagi mendengar kabarnya. Jangankan mendengar kabarnya, mendengar namanya disebut-sebut temanku aja udah nggak pernah lagi. Seakan-akan dia di telan bumi, seakan-akan dia berada di dunia dongeng dan cuman aku yang membaca kisah hidupnya.
Dan dihadapanku saat ini adalah masa-masa yang paling berat sepanjang sejarah hidupku. Ujian Nasional. Penentuan masa depanku. Hhh... mendengar kata ‘ujian’ aja udah sukses membuatku memuntahkan isi perut, apalagi kalau mendengar ‘Ujian Nasional’, pemerintah lebih sukses lagi membuatku mengeluarkan usus dua belas jari dalam muntahanku. Oke, itu terlalu lebay.
Setelah seminggu berturut-turun UN dilaksanakan, aku dan sahabat-sahabatku berencana untuk liburan. Mukti menyarankan untuk liburan ke Bali, disana ada cottage milik bokapnya yang bisa dipinjamin selama kami menginap disana. Tapi Digo malah pengin ke Raja Ampat yang harganya gila-gilaan. Bayangin aja, sewa hotel untuk satu malam seharga satu juta rupiah! Tria juga setuju dengan ide gilanya Digo. Dan setelah berembuk lagi, Indra malah menyarankan untuk berlibur ke pulau paling barat di Indonesia, yaitu Sabang. Mumpung aku nggak pernah ke Sabang dan mereka pun juga penasaran banget sama Sabang yang katanya daerah jalur perdagangan bebas itu, akhirnya kami sepakat untuk berlibur ke Sabang. Disana banyak banget pemandangan-pemandangan indah yang masih alami. Dan nggak perlu diragukan lagi, Sabang itu adalah destinasi nomor satu masyarakat Eropa karena terkenal dengan keaslian pantainya. Kini kami bersama-sama menikmati keindahan dan sepinya pantai Gapang. Lautnya yang bersih, airnya yang jernih serta banyak pepohonan rindang, menjadikan pantai ini sebagai pantai yang aku juluki tempat penenang jiwa dan raga.
Sementara Indra, Digo dan Mukti lagi pada asik snorkeling, aku malah duduk sendirian dibawah pohon besar nan rindang yang bernama pohon gapang ditemani dengan alunan cicitan burung-burung yang saling bersahutan dan suara hempasan ombak ke bibir pantai. Karena takut mati kebosanan, aku mengeluarkan tablet dari tasku dan mengaktifkan jaringan internet sekedar untuk browsing nggak jelas. Diujung sana, Tria dan Jojo sibuk berfoto-foto ria sambil mengabadikan suasana Pantai Gapang yang terbilang lengang ini. Nggak lama kemudian, mereka menyusul ke tempatku dan Jojo masih memainkan jepretan kamera Canon EOS DSLR barunya ke arah aku dan Tria.
“Nes, lo nggak mau ikutan foto sama kita ke sana?” Tria menunjuk ke arah lain di Pantai Gapang.
“Nggak deh, lo berdua aja sana.” Jawabku menolak sambil mengalihkan pandangan dari tabletku.
“Nggak jadi deh. Nggak ada lo nggak asik.” Keluh Tria kemudian.
“Iya beb, udahan dulu napa. Panas ni, pengin duduk dulu.” Jojo menyetujui kata-kata Tria sambil menyeruput air kelapa muda yang tertaruh di sebelahnya.
“Eh Nes, lo nggak jadi apply ke Nanyang?” tiba-tiba Tria mengungkit masalah kuliah. Aku terdiam melihat ke manik-manik matanya sambil berpikir sesuatu. Apa aku harus kasih tau mereka rencanaku yang sebenarnya?
“Loh, bukannya lo mo ngambil kedokteran UI?” Jojo menyela tiba-tiba, sambil melepaskan sedotan dari mulutnya.
“Kok malah UI sih? Lo bilang kemarin mau ke Nanyang?” Tria bersikeras. Sementara aku hanya terdiam berpikir apakah ini saatnya aku memberitahu mereka yang sebenarnya atau nggak.
"Gue nggak jadi ambil kedokteran deh kayaknya, gue penginnya ke HI." Aku meralat pernyataan Jojo.
“Kalo lo jadi ke Nanyang, barengan gue aja deh. Soalnya nyokap gue pengin gue ke situ.” Sambung Tria lagi.
“Kamu mau kuliah ke Singapura, beb?”
“He-eh.”
“Ntar aku sama siapa dong, beb?” rengek Jojo manja, wajahnya sok dibuat kayak anak kecil. Iuhhh... sok innocent banget si Jojo.
“Iuuuh, jijai banget gue liat gaya lo tadi, kayak anak ayan!” Tria malah mencubi pinggang Jojo sedangkan Jojo meronta-ronta minta ampun.
“Guys!” aku berteriak kecil namun sukses membuat Tria dan Jojo terdiam sempurna serta melirik takut ke arahku.
Sedetik, dua detik, tiga detik, empat detik... oke, aku siap jujur.
“Gue udah apply ke Australia.”
Sontak membuat Tria dan Jojo menganga lebar.
“Ciyus lo?” tanya Jojo terkaget-kaget. Aku mengangguk mantap.
“Tinggal urus visa aja.” Sambungku lagi.
“What?!” Tria bertanya kaget, “Lo... sejak kapan lo apply ke sana? Kok gue nggak tau?”
“Udah dari bulan lalu gue apply ke sana. Dan alhamdulillah, gue lewat beasiswanya.”
“BEASISWA??!!” Tria dan Jojo kini sama-sama berteriak kaget.
“Beasiswa... yang dari... Australian Embassy itu? Yang... yang... yang pernah sosialisasi ke sekolah kita itu kan?!” tanya Jojo gagap dan aku mengangguk mantap sambil tersenyum, dilanjutkan dengan senyuman Tria dan Jojo yang semakin melebar, lalu kami bertiga berpelukan dengan eratnya seraya Tria dan Jojo berulang kali mengucapkan selamat untukku.
“Lo serius mau ke Aussie?” tanya Tria lesu saat melepaskan pelukannya. Dengan satu anggukan disertai senyuman berat, aku mencoba tersenyum, sementara di dalam hati ini ada perasaan berat untuk meninggalkan tanah air kalau nanti aku beneran jadi kuliah di sana.
“Di kota mana?”
“Queensland.”
“Jadi lo masuk ke University of Queensland?” kini suara Jojo nyimbrung lagi. Dan lagi-lagi aku hanya mengangguk dan tersenyum simpul, sementara Jojo menatapku dengan mata berbinar.
“Yah, padahal gue pengin banget satu kampus bareng lo. Ntar gue sendirian dong di Jakarta.” Keluh Tria sedih.
“Katanya lo mau apply ke Nanyang?” tanyaku heran.
“Nggak jadi ah, nggak ada elo. Kalo nyokap gue ngijinin ke Aussie, gue pasti bisa ikut lo. Tapi masalahnya nyokap gue nggak ngijinin gue ke Aussie dari awal.”
Aku tersenyum, “Lo tenang aja, Tri. Kalo ada waktu libur, gue pasti bakal pulang ke Jakarta kok.”
“Beneran ya? Janji ya?”
Dan lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum untuk meyakinkan Tria. Aku tau, dia memang nggak bisa lepas dari aku ha... ha... ha... dan sejujurnya aku memang nggak bisa jauh dari sahabat-sahabatku tercinta ini. Indra, Mukti, Jojo, Tria, dan Digo.... aku pasti akan merindukan masa-masa ini bersama mereka yang nggak akan pernah bisa terulang.
Oke.... selesai sudahhhh!! Eits, tapi ini bukan the end of story ya, ini cuman selesai sampai dimana Nesa dan Davi being separated aja. Nanti bakalan ada chapter selanjutnya yang jujur aja, saya nggak tau kapan upload. Insya Allah dalam waktu dekat ini, karena belakangan ini saya lg sibuk untuk ujian semester (biasa... dilema anak sekolahan *yawn*). Di chapter selanjutnya, siap2 kedatangan tokoh baru yg akan mewarnai kehidupan Nesa dan surprise dari Diza yang mo kawin sama *tiiiiiiit*, lbh asiknya baca sendiri aja ntar ye he..he..he... Oke, happy reading all, and once again pls leave comments becuz good readers always leaves comment :)
KAMU SEDANG MEMBACA
On The Love-Line
Teen FictionSelalu dia. Entah kenapa selalu wajah dia yang muncul di otakku ini. Walaupun track recordnya sebagai musuh udah aku hapuskan semenjak dia minta maaf. Dia-lah yang terpenting. Hal yang nggak boleh hilang di hidupku, bahkan ketika aku mencintai lagi...