Chapter 16 - The Savior

5K 84 0
                                    

Nesa POV:

Entah jin apa yang tiba-tiba merasuk tubuhku hari ini, aku jadi lebih bersemangat dari yang biasanya. Awal semester dua dimulai, dan itu tandanya nggak lama lagi aku bakal menghadapi ujian akhir. Waaa... ingat-ingat tentang UN jadi bikin badan lemes lagi. Belom lagi nanti ada ujian SNMPTN yang lebih sulit lagi dari UN. Argh! Rasanya aku nggak pengen tamat SMA dan meninggalkan semua kenangan di sekolah ini. Ya, di sini banyak banget kenangan-kenangan manis yang nggak pernah kita dapatkan di tempat dan suasana lain. Bahkan masa SMA banyak dibilang sebagai masa-masa terindah sepanjang hidup. Ya memang, apalagi kalau itu menyangkut soal sahabat, cinta, pacar, dan kenakalan murid-murid setiap masuk jam pelajaran. Hah! Aku benar-benar nggak mau ninggalin SMA ini.

                Walaupun jam pertama adalah bahasa indonesia, pelajaran membaca dan menghafal paling membosankan di dunia, entah kenapa tiba-tiba pelajaran ini jadi buat aku semangat. Mungkin karena hari ini aku bakal ketemu Renno lagi di rumahnya. Ya, belakangan ini aku memang sering main ke rumah Renno, bahkan liburan semester pertama kemarin aku selalu ngabisin waktu disana untuk sekedar jadi perawat pribadinya dia. Dan kadang-kadang Diza juga ikut nemenin Renno. Entah kenapa hal itu jadi buat aku cemburu. Hah! Cemburu? Untuk apa aku harus cemburu dengan Diza? Aku dan Renno hanya sekedar mantan kekasih yang terpaksa putus, walaupun memang terpaksa putus tapi aku nggak seharusnya cemburu dengan Diza. Lagian, Diza dan Renno adalah sepasang manusia yang cocok di mataku. Chemistry-nya dapet banget. Jadi untuk apa aku menghalangi mereka berdua?

                “Nes, lo aneh banget hari ini.” Itu kata-kata pertama yang Digo lontarkan ke aku saat aku sedang sibuk membaca buku ringkasan kecil biologi dan mengulang pelajaran tadi pagi.

                “Kenapa emangnya?” tanyaku enteng. Pandanganku nggak sama sekali lepas dari buku biologi di tangan kiriku sedangkan tangan kananku sibuk menjamah pisang goreng dan memasukkannya ke rongga mulut satu per satu.

                Aku yakin Digo benar-benar kebingungan dengan tingkahku yang aneh hari ini. Bukan cuman Digo, bahkan Jojo, Indra, dan yang lain juga kebingungan. Aku bisa dengar mereka berbisik-bisik sambil gosipin tentang aku yang aneh hari ini.

                “Nggak biasanya lo baca buku biologi. Biasanya baca komik atau novel.” Indra menyela.

                “Komik hanya untuk anak TK, dan novel... cuman di saat bosan aja.” Aku menjawab enteng sambil terus memahami materi ringkasan di buku yang ku pegang ini.

                “Nes, ntar siang temenin gue nyari wedges ya!” suara Tria yang melengking terdengar jelas di telinga kananku, sedikit bikin sakit telinga.

                “Ng... gue nggak bisa, Tri.” Aku menoleh ke Tria di samping kananku sambil pelan-pelan menutup buku yang aku pegang setelah memberi sedikit lipatan di ujung kertasnya sebagai penanda halaman terakhir yang ku baca.

                “Lo ada acara?”

                “Gue... mau nemenin nyokap gue ke... dokter gigi.” Aku menjawab terbata-bata sambil berpikir kebohongan apa yang bisa meyakinkan Tria. Dan cusss... tiba-tiba ‘dokter gigi’ lah yang ku ingat. Entah darimana asalnya aku juga bingung.

                “Yah... padahal gue pengen beli wedges baru, yang kemarin punya udah patah.” Tria menjawab lesu. Aku merasa menyesal telah membohongi sahabatku sendiri, tapi belum saatnya mereka untuk tau semua ini. Aku belum siap untuk ceritain ke mereka soal hubunganku dan Renno yang semakin membaik.

On The Love-LineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang