Davi POV:
Tangan kananku masih sibuk menulis lirik-lirik yang tiba-tiba muncul di kepalaku. Hah, entah kenapa lagu ini belum siap-siap juga untuk ku ciptain, padahal proyek lirik ini udah lumayan lama juga aku kerjakan. Padahal biasanya aku lancar banget untuk nulis lirik-lirik. Buktinya, di buku kecil ini, semua tertampung ide-ideku untuk nulis lagu. Sambil sesekali memetik tali-tali gitar yang terdengar merdu ini, sesekali aku bernyanyi dan lalu menulis ide-ide lirik yang ku dapat. Dengan masih menggunakan seragam sekolah, aku duduk bernyanyi bersama gitar akustik di balkon atas. Pemandangan dari sini cukup indah juga. Aku bisa melihat dengan leluasa kolam renang besar dan lapangan basket dengan dihiasi taman-taman di sekelilingnya. Meskipun nyokap Indra nggak ada di sini, tapi bunga-bunga dan taman itu terlihat sangat rapi dan masih segar. Berkat bi Sarti dan pak Kokom yang rajin banget ngurusin taman-taman itu. Rumah ini memang cukup besar untuk ditinggali kami berempat. Saking besarnya, lama-lama jadi serem sendiri. Hah! Itulah resikonya punya rumah besar. Haduuhhh... kenapa aku jadi mikir ke situ ya? Fokus, Dave, fokus! Sekarang waktunya untuk ciptain lagu.
Aku terus menangkap semua konsentrasiku yang tadinya sempat buyar mikirin yang aneh-aneh. Tanganku masih terus menulis lirik-lirik itu sambil bernyanyi sesekali untuk mencocokkan semua ideku itu. Hah! Aku dapat feel-nya sekarang! Ternyata nyambung juga semua lirik-lirik ini, padahal semuanya tiba-tiba melintas di pikiranku saja. Tunggu... ini bukan sekedar lintasan biasa. Tapi... lirik-lirik ini seperti mewakili perasaanku sekarang. Hah! Kenapa tiba-tiba wajah Nesa nongol di otakku? Jantung ini... kenapa tiba-tiba gugup? Kok rasanya hawanya jadi lain, ya? Sesekali panas, sesekali dingin. Padahal kalau aku lihat awan disana... seperti mendung mau hujan. Tapi... bukan! Aku seperti sedang disaksikan oleh ribuan mata. Ada yang memperhatikanku sekarang. Seketika juga aku menghentikan lantunan lagu yang sedang ku mainkan dan menoleh ke arah belakangku.
Hah! Benar dugaanku! Mata-mata yang ku maksud tadi adalah matanya Nesa yang menelitiku dengan alisnya yang saling bertaut seperti orang keheranan. Mungkin dia heran dengan lagu yang ku mainkan barusan. Aku bisa melihatnya berdiri anggun sambil menyandarkan bahunya di daun pintu dan melipat kedua tangannya. Senyuman manis itu, yang aku nggak tau artinya apa, terus melebar hingga menjadi kekehan kecil yang aku juga nggak tau artinya apa. Oh... aku hampir lupa kalau Nesa masih ada di rumahku. Dan di dalam sana masih ada suara ribut-ributnya Tria yang sedang menyanyi lagu Agnes Monica dengan suara yang begitu hancur sementara Jojo ikut-ikutan nyanyi dengan menirukan suara berat Ahmad Dhani.
“Kayak hantu aja lo!” seruku sambil menghela napas lega, saat aku sadar ternyata bukan hantu yang mengamatiku. Ha ha ha... aku sempat berpikir kalau ada hantu di rumah ini yang lagi ngeliatin aku dengan pandangan ngeri karena merasa terganggu dengan lantunan gitarku barusan.
Nesa cuman tertawa kecil, yang ku dengar tawaannya itu terdengar seperti lonceng di telingaku. Terdengar sangat merdu. Hah... gadis ini... kenapa selalu berhasil membuatku tak berdaya jika ada di dekatnya....
“Itu lagu ciptaan lo?” tanya Nesa dengan senyuman yang nggak hilang dari raut wajahnya. Senyuman itu... entah dari mana asalnya dan entah kenapa... senyuman itu tiba-tiba bisa mirip dengan senyuman Mom. Manis banget.
“Yap!” aku mengangguk mantap sambil balas tersenyum, “Menurut lo gimana?”
Nesa menghela napas panjang dari mulutnya sebelum akhirnya menjawab, “Not bad. Good.” Jawabnya kemudian mengambil posisi duduk di sebelah kiriku.
“Not bad or good?” tanya Davi memastikan lalu menyipitkan matanya.
Nesa tertawa sesaat, “Good,” ralatnya sambil mengangguk cepat dan kembali dilanjuti dengan tawaku yang membahana seluruh penjuru balkon. Matanya yang sempat bertabrakan dengan mataku tadi langsung menoleh ke arah depanku, dimana buku kecilku yang berisi lirik lagu tadi tergeletak.
KAMU SEDANG MEMBACA
On The Love-Line
Teen FictionSelalu dia. Entah kenapa selalu wajah dia yang muncul di otakku ini. Walaupun track recordnya sebagai musuh udah aku hapuskan semenjak dia minta maaf. Dia-lah yang terpenting. Hal yang nggak boleh hilang di hidupku, bahkan ketika aku mencintai lagi...