Nesa POV:
“Lo yakin?” Tria sempat meragu dengan tindakanku ini. Ya, aku tau Tria nggak mau sesuatu yang buruk terjadi. Tapi aku nggak punya option lain, ini salah satu jalan keluar utama kalau aku mau memastikan hubunganku dengan Renno yang sebenarnya.
“Kalau lo nggak yakin, kita bisa minta Indra dan yang lain untuk temenin lo ke sini besok.” Ternyata Tria benar-benar takut, dan aku pun nggak kalah takutnya dengan Tria.
Sebelum pulang sekolah tadi, Indra meminta aku untuk menemui Renno langsung di rumahnya, karena Indra dapat informasi kalau Renno baru aja balik dari Singapura kemarin malam. Otomatis aku penasaran dengan apa yang di lakukan Renno selama di Singapura sehingga dia nggak sekolah beberapa bulan ini. Banyak pertanyaan yang akan aku ajukan ke Renno nanti. Aku mengangguk mantap di hadapan Tria, walaupun sebenarnya hatiku benar-benar belum mantap untuk menemui Renno. Jantung ini mulai berdetak nggak karuan dan rasanya nggak siap untuk ku bawa masuk ke rumahnya Renno. Kalau jantungku bisa bicara, mungkin dia lebih milih untuk tinggal di mobil bareng Tria daripada harus masuk ke rumah besar yang terpampang di sebelah kiri kami.
“Lo harus siap dengan segala konsekuensinya, ya.” rasa-rasanya aku tau konsekuensi ini udah pasti akan aku hadapi. Tapi... apa salahnya kalau kita ber-positive thinking dulu sebelum mencoba? Siapa tau Renno punya alasan yang lebih baik untuk menjelaskan kemana aja dia selama ini dan bagaimana hubungan kami.
Tria menarikku ke dalam pelukannya dan mengelus kepala serta pundakku dengan pelan. Hah! Bertapa beruntungnya aku punya sahabat sebaik ini. Aku nggak mau terus terhanyut dalam pelukan ini, lalu aku pun melepaskan pelukan itu pelan dan menyeka air mata yang mulai jatuh sambil tersenyum paksa ke Tria. Aku bersiap untuk membuka pintu mobil Tria dan menurunkan kaki kananku terlebih dahulu untuk menginjak tanah. Aku menutup pintu mobil itu dengan sedikit membanting dan lalu menarik napas dengan pelan. Napas berat dan panas itu ku keluarkan dari hidung. Dalam hati aku terus meyakinkan diriku sendiri bahwa everything’s gonna be alright. Dengan bismillah, aku bersiap memencet tombol di tembok pagar sebanyak dua kali. Beberapa detik kemudian, pagar hitam yang menjulang tinggi itu terbuka otomatis dan aku langsung berjalan dengan langkahan kaki ragu-ragu. Tapi aku sedikit heran karena di halaman rumah Renno terparkir mobil Porsche merah yang rasanya seperti familiar di mataku. Aku mencoba mengingat kapan dan dimana aku pernah melihat mobil ini dan siapa pemiliknya. Tapi otakku sekarang nggak berhasil membaca siapa pemilik mobil Porsche mewah ini. Ah! Mungkin hanya perasaanku saja.
Kaki ini benar-benar berat untuk melangkah, seakan-akan mereka berteriak ‘jangan berjalan, balik ke mobil!’. Aku nggak mempedulikan kata-kata itu. Hhhhh... apa yang terjadi, terjadilah. Batinku dalam hati dengan perasaan kalut. Aku bersiap memencet tombol berwarna keemasan itu tapi ternyata pintu kayu mewah itu udah dibuka duluan oleh bi Mina.
“Non Nesa....” sahut bi Mina di depan pintu dengan sedikit gemetaran. Rasa takut langsung menyelimuti suara dan tindak-tanduknya. Udah lama aku nggak melihat bi Mina. Terakhir kali aku melihat bi Mina, dia sedang menghidangkan kue cookies kesukaanku dengan susu yang biasa aku santap kalau aku ke rumah Renno. Wajahnya saat itu benar-benar sangat ceria dan antusias. Tapi kali ini wajahnya berubah tiga ratus enam puluh derajat dari wajah yang aku lihat terakhir kali.
“Renno ada dirumah, bi?” aku bertanya pelan, berharap wajah bi Mina sedikit berubah cerah.
“Ng... non... sebaiknya Non Nesa pulang saja, ya.” jawab bi Mina yang kelihatannya ragu-ragu menyuruhku masuk. Maksudnya? Kenapa bi Mina malah menyuruh aku pulang? Biasanya bi Mina senang banget kalau aku datang ke sini dan langsung menyuruh aku untuk masuk ke dalam. Ada apa ini?
“Kenapa bi? Ada apa sebenarnya?” aku bertanya kalut, tapi pertanyaanku malah didiamkan oleh bi Mina. Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa bi Mina seperti nggak menginginkan aku berada di sini? Di rumah pacarku sendiri? Di rumah yang udah biasa aku anggap seperti rumahku sendiri?
KAMU SEDANG MEMBACA
On The Love-Line
Teen FictionSelalu dia. Entah kenapa selalu wajah dia yang muncul di otakku ini. Walaupun track recordnya sebagai musuh udah aku hapuskan semenjak dia minta maaf. Dia-lah yang terpenting. Hal yang nggak boleh hilang di hidupku, bahkan ketika aku mencintai lagi...