Nesa POV:
Entah kenapa tiba-tiba Ario jadi pengen makan di restoran Jepang -yang selama ini diakuinya sebagai pilihan tempat yang paling 'nggak banget' untuk makan siang-. Tiba-tiba rasa nafsu yang menggebu-gebu menguasai indera perasanya, bahkan hampir semua makanan teraneh dalam menu dipesannya, entah dia bisa menghabiskan semuanya atau nggak.
"Jadi...." aku memulai pembicaraan ketika dia masih terleffna dengan makanan dihadapannya, "kamu bakal tetap ke Makassar sabtu ini?"
Dia menjawab dengan anggukan dan menelan makanannya terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaanku.
"Iya, ini proyek penting bagi perusahaan. Sekalian aku harus temui Mami disana." Jawabnya seadanya, dan lalu melanjutkan suapannya lagi yang entah ke berapa kalinya, sedangkan aku masih tahap empat suapan.
"Temui Mami kamu? Untuk apa?" tentu aku heran, kenapa Ario tiba-tiba pengin ketemu sama Oma dari pihak ibunya itu yang biasa dipanggil Mami. Tumben banget, biasanya kalau disuruh pulang ke Makassar, Ario juga pasti bakalan nolak dengan alasan sibuk ngurusin pekerjaan.
"Nanti kamu juga bakalan tau." Ario tersenyum licik, menyiratkan suatu makna dari senyumannya itu yang aku nggak ngerti sama sekali.
"Hmm... iya deh." Terserahlah kalau dia merahasiakan sesuatu dariku, dan aku juga nggak tertarik untuk tau. Pupuslah harapanku untuk mengajak Ario ke acara pernikahan Diza dan Renno sabtu ini. Dan bersiap-siap mendapat 'serangan' bertubi-tubi dari keluarga besarku.
"Memangnya kenapa kalau aku ke Makassar?" tanya Ario penasaran.
"Diza nikah sabtu ini, dan malam minggu resepsinya."
"Diza...." Ario kelihatan sedang berpikir, "sepupu kamu yang kita ketemu di konser David Foster kemarin itu, kan?"
Aku mengangguk, ternyata dia masih ingat juga dengan Diza, padahal acara konser David Foster itu udah enam bulan lebih berlalu, itupun cuman sekali dalam seumur hidup Ario ketemu Diza. Hmm... ingatannya kuat juga.
"Oh, jadi dia mau nikah, ya?"
"Ya aku juga bilang itu barusan, Tuan Muda Dirgantara." Ario terkekeh saat melihatku menggembungkan pipi pura-pura ngambek karena gondok akibat kelambanan otaknya bekerja. Mungkin di kepalanya yang berukuran besar itu terjadi kesalahan sistem penerjemah kata-kata karena terlalu banyak mikirin proyek sana-sini. Dasar pengusaha. Dan untung aja dia nggak nanya siapa mempelai prianya. Kalau Ario tau mempelai prianya itu adalah mantan pacarku, kira-kira apa reaksinya ya?
"Kalau gitu, sampaikan permintaan maafku ke Diza karena nggak bisa hadir."
Di satu sisi, aku merasa kecewa dengan sikapnya Ario, walaupun sebenarnya aku maklum dengan kesibukan yang terlalu banyak menyita waktu luangnya. Entah kenapa aku selalu merasa kalau Ario nggak pernah bisa meluangkan waktu untuk berkumpul bersama orang-orang terdekatku, katakanlah dengan keluarga dan sahabatku. Aku jadi malu sendiri ketika nantinya orang-orang akan bertanya "Mana si pengusaha kaya itu? Kok nggak datang?" haaaaaaah aku harus jawab apa nanti??? "Dia lagi sibuk ngurusin kerjaannya" cuman itu alasan satu-satunya yang selalu aku pakai ketika aku menghadiri acara keluarga tanpa berpendamping. Tiba-tiba aku merasa seperti bujangan.
Aku melemparkan tas kecil yang ku selempangkan ke bahu kiriku ke atas tempat tidur usai pulang makan siang bersama Ario, diikuti dengan rebahan tubuhku ke atas ranjang. Hhh... apa yang harus aku bilang lagi kalau orang-orang pada nanya kenapa aku datang ke pesta sendiri tanpa pasangan dan bla bla bla...? Bahkan aku nggak bersemangat untuk hadir ke resepsi pernikahan Renno dan Diza. Oh no... aku nggak mungkin nggak datang, itu kan resepsi pernikahan kerabat terdekatku, sepupuku, masih dalam jangkauan keluarga besarku, mana mungkin aku nggak datang. Dasar bodoh. Aku terlalu parno dengan pertanyaan dari keluarga-keluarga besarku nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
On The Love-Line
Teen FictionSelalu dia. Entah kenapa selalu wajah dia yang muncul di otakku ini. Walaupun track recordnya sebagai musuh udah aku hapuskan semenjak dia minta maaf. Dia-lah yang terpenting. Hal yang nggak boleh hilang di hidupku, bahkan ketika aku mencintai lagi...