Nesa POV:
Menyebalkan! Kenapa si sialan Renno tiba-tiba bisa nongol lagi, sih? Ya Rabb, apa salahku sampai-sampai Renno berani nekad menemui aku lagi? Tolong aku, Ya Rabb, aku hanya mau dia menjauh dari aku. Aku nggak mau dia menggangguku for the rest of my life. Aku nggak mau terusik gara-gara dia lagi, Ya Allah. Bantu aku mengatasi semua masalahku ini, Ya Rabb. Amin.
Aku baru saja selesai menunaikan ibadah salat maghrib dengan penuh khidmat. Suasana kamar yang remang-remang membuat aku lebih bisa bercurhat-ria dengan Sang Pencipta. Sengaja aku menghidupkan lampu tidur yang berkelap-kelip di seluruh penjuru kamarku seperti hiasan bintang, agar aku lebih khidmat dalam berdoa. Semoga Tuhan mendengar semua kekesalanku akan si sialan Renno yang hadir lagi dalam hidupku. Duuhh! Kenapa semuanya jadi ribet begini, sih? Kenapa aku harus ambil pusing terhadap cowok yang udah memberikan cinta palsunya selama ini? Aku melepaskan mukena krem ku dan melipatnya lagi bersama sajadah hijau yang melukiskan gambar mesjid beserta menaranya yang tinggi menjulang. Aku merasa sedikit lega setelah bercerita banyak dengan Rabb-ku. Aku merebahkan seluruh tubuhku yang lelah menghadapi cobaan tadi siang di atas ranjangku dan menutup mataku untuk merilekskan pikiranku sejenak. Ku hirup napas dalam-dalam dan mengeluarkannya melalui rongga mulutku dan mengulanginya sebanyak dua kali ketika smartphone-ku menggetarkan permukaan ranjang dan lagu Far East Movement yang berjudul Like A G6 terdengar jelas seiring dengan getaran tadi. Aku terduduk dari tidurku setelah aku mengambil smartphone-ku yang tergeletak di sebelahku ketika membaca layar smartphone tertulis nama Davi.
DUG! DUG! DUG! DUG! Entah kenapa suara detak jantungku terdengar sangat jelas sekarang. Napasku tercekat, susah untuk bisa bernapas normal ketika aku tau kalau yang menelponku sekarang adalah Davi!! Aaaaaaa!! Jantungku pengin lari estafet keliling komplek rasanya. Cepat-cepat aku menekan tombol hijau di sebelah kanan setelah aku mengatur napasku yang udah lumayan normal lagi.
“Halo...?” sapaku penuh keraguan. Yang aku takutkan, bisa aja Davi salah pencet nomor ataupun dia lagi nggak sadar menduduki hapenya lalu terpencet nomorku tanpa sengaja.
“Hai, Nes.” Dia membalas sapaanku, suaranya terdengar antusias di seberang sana. Hah! Kenapa pula dia bisa antusias hanya karena menelponku? Apa mungkin itu cuman perasaanku aja?
“Lo nggak pa-pa?” tanyanya kemudian. Memangnya ada apa denganku? Kenapa dia bertanya aku nggak pa-pa?
“Ng... memangnya gue kenapa?” tanyaku heran.
“Nggak, gue cuman khawatir aja,” dia khawatir? Davi mengkhawatirkanku? Argh kenapa rasanya aku seperti geregetan begini sih? Tiba-tiba ada sesuatu yang bergejolak di perutku, seperti ada kupu-kupu terbang. Duuhh melankolis banget aku ini ya.
“Soalnya tadi siang gue liat lo ngobrol sama Renno.” Jadi Davi nontonin aku sama Renno tadi siang? Ciyus??
“Lo liat gue sama Renno?” ulangku nggak percaya. Apa segitu perhatiannya dia ke aku? Atau waktu itu dia cuman numpang lewat dan nggak sengaja ngeliat?
“Iya. Dan kayaknya kalian berantem gitu. Memangnya ada apa, sih? Lo ada terlibat masalah apa lagi sama dia?” suara Davi tiba-tiba terdengar seperti ketus dan nggak suka.
“Ng... nggak kenapa-napa kok. Bukan hal penting.” Aku langsung menyanggah. Jujur ya, sebenarnya aku malas ngomongin soal perdebatan aku dan Renno tadi siang. Kenapa sih Davi telepon aku cuman ngebahas masalah nggak penting ini? Di satu sisi, aku juga ngerasa senang karena dia mengkhawatirkan aku, tapi aku nggak senang kalau dia mengungkit masalah tadi siang, apalagi masalah yang berhubungan dengan Renno. Nggak penting banget untuk dibahas ulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
On The Love-Line
Teen FictionSelalu dia. Entah kenapa selalu wajah dia yang muncul di otakku ini. Walaupun track recordnya sebagai musuh udah aku hapuskan semenjak dia minta maaf. Dia-lah yang terpenting. Hal yang nggak boleh hilang di hidupku, bahkan ketika aku mencintai lagi...