Davi POV:
Perjanjian tetaplah perjanjian, meskipun aku bingung mau ngajak Nesa kemana. Hhhh... yang ada di pikiranku lagi-lagi ‘nonton’, ‘kebun binatang’, dan ‘makan di restoran mahal’. Apa nggak ada yang lebih eksklusif daripada itu? Maksudku... sesuatu yang beda. Kencan yang beda daripada harus nonton tiap hari atau nongol di kebun binatang seperti yang selalu aku dan dia lakukan dulu ketika kami masih pacaran.
“Kalo lo mau buat dia suka sama lo lagi, ya berarti lo harus mengulang lagi masa-masa indah lo dulu sama dia.” Ucap Indra yang sibuk meneliti berkas-berkas kerjaanku di atas meja kerja yang aku bawa pulang dari Makassar, “Contohnya melakukan kebiasaan yang dulu kalian lakukan. Ke bioskop kek, pergi ke kebun binatang kek, atau apa lah.”
“Tapi kayaknya basi banget deh. Masa dari dulu sampe sekarang gue ngajak dia ke situ-situ terus?” aku masuk ke dalam ruang kerjaku sambil membawa segelas perasan air lemon yang baru aku racik di dapur.
Indra menyerngit heran ketika membaca berkas kerjaanku, “Yaa kalo gitu lo cari aja tempat lain.”
Apa yang Indra bilang barusan ada benarnya juga. Kalau mau membuat Nesa kembali suka sama aku, ya salah satunya ngajak Nesa jalan ke tempat yang biasanya kami kunjungi. Tapi nggak ada kesan eksklusifnya juga kalau terus-terusan ngajak Nesa ke tempat itu. Masa dari dulu sampe sekarang, aku cuman bisa ngajak dia ke situ-situ aja, sih?
“Harus gue akui lo adalah orang yang paling berani.” Ujar Indra yang kini beralih ke salah satu koleksi pajangan foto di bufet ruang kerjaku.
Aku menyeruput perasan lemon itu dan meletakkannya di atas meja, “Kenapa juga gue harus takut.” Jawabku sambil duduk bersandar di sofa dan mengerut dahiku dengan gelisah.
“Kalo bokap lo tau lo ketemu lagi sama Nesa, apa yang bakal terjadi?” Indra menaruh lagi bingkai foto yang ada di tangannya dan lalu beranjak duduk di sampingku, “Lo nggak mikir efek bahayanya untuk Nesa?”
Aku menghela napas berat dan duduk menghadapnya, “Lo tau nggak, sejak gue memegang jabatan sebagai direktur, gue terus mengawasi Vanessa dari kejauhan.”
“Oh, jadi sekarang lo mata-matain Nesa?”
“Bukan mata-matain dia, dodol. Gue cuman memastikan kalau dia selalu aman.”
“Nah itu apa namanya hayo? Mata-mata, kan?” Indra gigih mempertahankan perspektifnya. Hhhh... sebenarnya ini bukan ajang memata-matai Nesa, aku cuman mengawasi dia dari jauh dengan mengirimkan beberapa orang untuk terus memantau gerak-geriknya supaya nggak ada ancaman bahaya dari Dad. Dan Indra udah salah mengartikan. Untuk apa aku terus ikut campur tentang kehidupannya? Untuk apa aku harus tau dengan siapa dia bergaul? Itu semua diluar jangkauanku. Yang ingin aku pastikan adalah keselamatannya dari ancaman Dad, karena aku tau Dad itu adalah tipe orang pengingkar janji. Mana mungkin aku percaya gitu aja sama perjanjian Dad yang mengatakan kalau Dad nggak akan mengancam nyawa Nesa kalau aku setuju memegang jabatan direktur? Karena itulah aku membuat antisipasi untuk sekedar memastikan kalau Nesa aman tanpa ada teror dari Dad.
Percuma aku jelasin ini ke Indra, dia pun pasti bakal tetap kekeuh dengan perspektifnya kalau selama ini aku memata-matai Nesa. Biarin aja lah.
Aku menghela napas berat lagi sambil beranjak bangun “Terserah lo aja deh mau mikirnya gimana.” Aku berjalan keluar dari ruangan kerjaku menuju dapur. Hah... rasanya lapar banget semenjak mendarat di Jakarta beberapa jam yang lalu. Bahkan aku pun belum sempat mengganti pakaian yang sedari tadi aku pakai dengan pakaian yang baru. Rasanya baju kaos ini penuh dengan keringat. Dan Indra yang menjemputku dari bandara sedari tadi pun belum juga beranjak keluar dari apartemenku.
KAMU SEDANG MEMBACA
On The Love-Line
Teen FictionSelalu dia. Entah kenapa selalu wajah dia yang muncul di otakku ini. Walaupun track recordnya sebagai musuh udah aku hapuskan semenjak dia minta maaf. Dia-lah yang terpenting. Hal yang nggak boleh hilang di hidupku, bahkan ketika aku mencintai lagi...