Mercy
Kalian pernah ngalamin kejadian memalukan nggak di dalam sepanjang kalian hidup, bernafas di muka bumi ini?
Kayak misalnya, telat masuk sekolah atau kejadian salah pakai seragam atau mungkin buang air besar di celana waktu sekolah? Kalau pernah, itu belum seberapa sih memalukannya sama kejadian yang pernah aku alami saat jatuh tertidur di ruang operasi waktu co-ass dulu.
Selain memalulan, itu juga fatal. Untungnya sebagai co-ass aku hanya mengamati prosedur operasi di dalam untuk membuat laporan. Tapi hari itu, aku yang kurang enak badan mendapatkan sisa ruang operasi yang masih bisa dimasuki. Tidak ada pilihan lain, selain masuk ke pembedahan saraf yang dilakukan Dokter Nico hari itu. Bodohnya lagi, aku keduluan minum paracetamol. Alhasil, operasi yang harusnya berjalan selama lima jam itu, hanya ku lalui selama tiga puluh menit.
Iya, aku ketiduran.
Itu kejadian paling memalukan yang menjadi aib bagiku setiap kali aku bertemu Dokter Nico sepanjang co-ass bedahku. Tapi lucunya, aku malah sekarang PPDS bedah. Tuhan pasti senang banget isengin aku.
Namun, setelah kejadian bodoh waktu co-ass itu, aku belum pernah memiliki catatan memalukan lagi.
Selain saat ini.
Berdiri di depan pintu apartemen yang telah menjadi rumahku selama beberapa bulan terakhir setelah menikahi Andrew. Aku bingung mau menekan bel pintu, atau mengetuk pintunya saja. Rasanya sama-sama malu kalau aku lakukan itu.
"Kenapa? Masih malu?" Tegur Oma yang berada di sebelah kanan ku. "Buka pake kode pintu kamu kan bisa. Susah amat sih jadi orang. Ribet tahu nggak?"
Bukannya nggak mau, tapi ya kan lucu aja dong... Habis ngomel, minta pulang ke rumah Oma, terus masuk apartemen pake kode pintu. Gimana aku nggak malu coba?
"Oma, aku..."
"Oma telepon Andrew aja kalo gitu," kata Oma cepat sambil mengeluarkan ponsel andalannya.
"Eh... Jangan Oma! Jangan di telepon Andrewnya," jawabku cepat sebelum Oma menyalakan ponselnya. "Ya udah iya, iya. Aku tekan bel aja."
Sebenarnya, seperti kata Oma tadi memang betul aku bisa saja membuka pintu apartemen ini dengan kode pintunya. Tapi, tolong diingat kejadian beberapa jam sebelum ini yang terjadi di antara aku dan Andrew. Akal sehatku, dan pikiranku yang agak masih menjunjung etika, sepertinya tidak mengizinkanku untuk asal membuka pintu apartemen dengan kode akses langsung.
Aku pun menekan bel apartemen.
Sekitar beberapa lama aku dan Oma menunggu yang empunya pintu untuk membuka, tapi tak kunjung ada tanda-tanda bahwa pemilik apartemen ini akan membuka pintunya. Saat itulah aku mulai berpikir untuk membuka dengan kode akses saja.
Ckelk!
Pintunya dibuka Andrew.
Sosok Andrew dengan wajah lelahnya dan raut wajahnya yang tidak semangat sama sekali itu membuatku sangat bersalah telah kasar padanya tadi. Aku juga merasa tidak baik-baik saja setelah masuk ke dalam apartemen, dan melihat semuanya gelap, foto-foto Andrew yang tersusun rapih di meja dekat sofa ruang tamu kini berantakan karena tertabrak Andrew yang tidak menyalakan lampu apartemen sama sekali.
Oma yang menginjakkan kaki di dalam apartemen, langsung menyalakan lampu. "Hadeh, pasti kamu stres ya Drew, punya istri masa nggak becus banget kayak Mercy ini kan? Bukannya beresin rumah malah kabur ke rumah Omanya!"
Eits, cucunya Oma ini siapa sih? Aku atau Andrew? Kenapa kayaknya aku melulu yang jadi biang masalah di sini!
"Jangan harap kamu Oma bela-bela ya, Mey!" seru Oma lantang, "Kalian berdua itu sudah besar, sudah berjanji di depan Tuhan dan jemaat-Nya untuk ada di dalam suka maupun duka, sehat maupun sakit, kaya atau miskin sampai maut memisahkan. Terus yang kemaren kalian ucapkan pas pemberkatan nikah itu apa? Naskah drama?"
Oma mungkin bukan sosok penuh keibuan yang biasa kalian lihat di keluarga kebanyakan. Bahkan, sama Mama dulu saja Oma bahkan lebih keras lagi dari pada ke aku saat ini. Tapi kalau soal keutuhan keluarga, Oma tidak akan ada kompromi. Aku tahu itu saat Opa bercerita bagaimana awal-awal tahun pernikahan mereka.
Oma sering dibandingkan dengan standard menantu Korea yang harus mengurus mertua, mencuci baju, memasak, membersihkan rumah, sampai budaya untuk memberi penghormatan kepada kakeknya Opa. Semua itu tidak dilakukan Oma. Tentu saja, ibunya Opa mengomentarinya habis-habisan hingga memintanya untuk bercerai dan menikahi perempuan korea lain saja. Namun Oma sendiri yang dengan tegas mengatakan, "Aku menikahimu bukan karena aku ingin saja. Tapi aku mencintaimu, Han Jae Soo. Aku berjanji untuk ada bersamamu walaupun keadaan buruk dan tidak ada cahaya harapan sedikitpun. Karena aku berjanji di hadapan Tuhan dan jemaat-Nya."
Ucapan yang Oma ucapkan itu sepertinya kembali dia ucapkan kepadaku dan Andrew saat ini.
"Kalian tahu kenapa perceraian itu terjadi?" tanya Oma, yang akhirnya dia jawab sendiri juga karena kami masih saling diam. "Menghindar, diam, dan menelan semuanya sendiri. Itu yang membubarkan pernikahan yang kalian sudah janjikan di depan Tuhan. Gimana kalian bisa menemani dalam suka dan duka kalau salah satu dari kalian menghindar? Bagaimana kalian bersama dalam sehat atau sakit kalau salah satu dari kalian diam saja? Lalu, gimana kalian bisa bertahan dalam kaya atau miskin saat kalian sendiri menelan semuanya sendiri-sendiri?"
Andrew menoleh melihatku, "Mer? Aku minta maaf."
"Bukan seperti itu, Drew," sahut Oma, "Kalian berdua masuk di dalam kamar sana! Oma tidak akan ganggu!"
Eh? Masuk kamar gimana?
Oma menarik tanganku dan Andrew untuk menggiring kami berdua ke kamar kami. "Kalian berdua ngobrol di dalem. Oma nggak mau tahu pokoknya kalian berdua harus bisa ketemu titik temunya kalian berdua!"
-----
Andrew
Aku kira aku akan baik-baik saja setelah aku mencoba untuk berkata jujur pada Mercy tentang masa laluku. Tapi sepertinya karena Mercy tahu dari Viviane yang tak sengaja mengatakannya saat aku mengobrol dengannya--dan ini bukan yang aku rencanakan--sepertinya semuanya buyar begitu saja karena aku tidak bisa menjelaskan pada Mercy dengan cara yang lebih baik lagi, selain Mercy sendiri yang memaksa untuk aku mengatakan semuanya.
Setelah mengantarkannya ke rumah Omanya, aku berniat kabur juga sebenarnya ke rumah Mama. Tapi, karena Dokter Abby sendiri yang mengatakan akan membuat Mercy pulang ke apartemen, aku membatalkannya.
Meskipun tidak berharap banyak untuk melihat Mercy di apartemen hari ini, tapi kedatangannya sukses membuatku tenang. Walaupun Dokter Abby tetap berada di sampingnya, setidaknya Mercy kini ada di apartemenku.
"Mer," panggilku setelah kami berdua berada di kamar. "Aku..."
"Kamu salah dan kamu minta maaf?" sambung Mercy sebelum aku berhasil untuk mengucapkan kalimat yang ingin ku ucapkan kepadanya.
Pada akhirnya aku hanya menghembuskan nafas panjang karena tidak tahu apa yang harus ku ucapkan dengan anggukan sebagai tanda itulah yang ingin kuucapkan.
"Aku yang harusnya minta maaf, Drew. Aku nggak kenal kamu. Kamu pun mungkin memang begitu."
Aku menggelengkan kepalaku. "Mer, you're a really having a short memory?" Kini Mercy mengernyitkan dahinya atas ucapanku barusan.
"Maksudnya? Kamu kenal aku?" ucapnya heran, "Damn it Drew! Tell everything that you're hiding behind me right now! Aku salah apa sih sampai-sampai banyak sekali hal yang ditutupi di belakangku? Aku salah apa??"
"Mer, we met before. Long ago, when you're still high school."
"High school? Aku SMA? Kapan? Di mana?"
Aku pun menceritakannya kini semuanya pada Mercy. Tentu saja, aku merasa bingung bagaimana memulainya. Sejujurnya, kali pertama aku bertemu Mercy lagi ketika dia menabrakku di lobby rumah sakit, dan melihatnya mengenakan snelli dengan ID card pengenal yang menunjukkan dia seorang residen bedah membuatku benar-benar senang, sekaligus terkejut.
"We met on the day you said never want to step your foot on the hospital again, Mer."
"Itu kan hari..."
"Hari orangtuamu meninggal karena kecelakaan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Summer Elegy
General FictionBagi Mercy, kebahagiaan itu hanya dua: 1. Bisa tidur dan makan tanpa diganggu. 2. Sergio Romanos. Perjuangannya untuk mendapatkan Sergio setelah bertahun-tahun berusaha akhirnya berhasil, dan kisah cintanya bersama Sergio adalah yang terbaik--menur...