Three

5.8K 558 5
                                    

Mercy.

Hari Senin.

Bisa aku skip aja dan lanjut ke hari Selasa aja nggak?

Dari tujuh hari yang Tuhan berikan kepada manusia untuk jalani tiap minggunya, aku paling benci hari Senin dan Jumat.

Kenapa?

Tanyakanlah kepada anak-anak sekolah yang harus berangkat pagi-pagi biar nggak telat upacara pagi tiap Senin di sekolahnya. Semuanya pun sama. Tapi mereka pasti tidak punya masalah dengan hari Jumat. Justru, aku berani jamin mereka suka hari Jumat karena weekend.

Dulu aku pun berada dalam posisi yang sama seperti mereka kok. Aku pernah sekolah juga selama dua belas tahun bangun pagi, bolak-balik ke sekolah belajar mata pelajaran yang membosankan dan aku nggak pahami efeknya dikemudian hari untuk apa.

Sampai akhirnya aku ikut PPDS Bedah.

Senin dan Jumat adalah neraka yang luar biasa untukku—dan sebagian besar residen bedah lainnya. Senin aku harus apel pagi ke Dokter Dhani bersama dengan tim bedahku, dan Jumat pun juga sama. Ingat kejadian aku disuruh cuci alat-alat operasi karena telat sampai ruangan beliau? Itu adalah apel Jumatku.

Terkadang, aku mengutuk diriku yang manut-manut aja dan nggak bisa bilang nggak sama omongan Oma yang mengharuskan aku untuk ambil spesialis bedah. Tapi di sisi lain, aku juga nggak mau dibilang cuma berlindung dibalik kehebatan Oma, yang spesialis bedah plastik terkenal dan Opa, internis sekaligus direktur utama Rumah Sakit Effendi. Belum lagi kenyataaan pedih di mana Sergio mengambil obgyn.

Setidaknya, karena Sergio mengambil stase besar untuk spesialisnya aku juga harus bisa sepertinya. Dari sekian stase besar yang kusukai sebenarnya nggak ada sih.

Anak? No thank you, aku benci anak kecil karena mereka ribut dan sulit diatur.

Penyakit dalam? Aku bukan orang yang telaten untuk sering-sering baca buku. Tidak, dan terima kasih.

Obgyn? Berurusan banyak dengan cewek, dan ibu-ibu hamil di kemudian hari bukanlah hal yang kusenangi. Maksudku, sembilan puluh persen pasien yang akan kutangani kelak kalau obgyn pasti emak-emak. Pasti ribet, nyusahin dan banyak keluhannya. Apalagi kalo cerewet!

Bedah? Terlalu rumit.

Tapi buat Oma, pilihannya cuma bedah atau bedah atau bedah.

"Jangan lupa pakai snelli!" seru Dea, "Gue nggak tanggung jawab kalo lo kena oceh Dokter Dhani lagi."

"Sialan," balasku sambil mengambil snelli-ku yang ketinggalan di dalam loker ganti baju. "Tapi makasih udah ingetin gue."

"Abang Sergio denger-denger jadi idolanya para suster obgyn?" Goda Dea, "Gue denger juga katanya dia lagi—"

"Bisa dibahas nanti aja nggak De? Lima menit lagi telat nih," keluhku.

"Woi, cepetan! Dokter Dhani udah di ruangannya!" Seru Roni dari balik pintu kamar ganti baju perempuan.

"Tahu... lu berdua ngapain lagi sih?!" Tambah Heru.

Aku dan Dea buru-buru membereskan tas kami. Tidak lupa mengambil ID card, dan stetoskop kami. Lalu kami berdua berjalan menuju ke pintu. "Cerewet amat sih, lo berdua!" keluhku, "Kalo gue lupa bawa stetoskop lagi gimana?"

"Lah, elo ngaco juga bisa ketinggalan stetoskop! Katanya udah jaga satu tahun lebih ditugasin di UGD, tapi bisa-bisanya itu stetoskop ditinggal-tinggal," komentar Heru.

"Khilaf," kilahku.

"Yok cepetan ke ruangan beliau," ajak Roni.

Kami berempat bergerak menuju ruangan Dokter Dhani yang berada di sayap kanan lantai pertama. Aku beruntung memiliki tim residen bedah yang berisi Dea, Heru dan Roni. Kebetulan kami berempat sudah mengenal satu sama lain sejak SMA. Iya, mereka bertiga adalah teman-teman SMA-ku, kita juga punya cita-cita yang sama untuk jadi dokter. Bedanya, mereka bertiga memang saingan mau jadi dokter bedah. Sedangkan aku tidak.

Summer ElegyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang