Thirty Five

3.2K 333 10
                                    

Mercy

"Kamu udah sampai Mey?" Tanya Sergio dari sambungan telepon. "Harusnya Wisnu–"

"Udah Gi. Tenang aja. Wisnu udah di depan mataku ini," balasku sambil tertawa. "Kamu nggak usah khawatir kali..."

"Tapi tetap aja. Kamu di sana tengah malam, sendirian, nggak ada kawan. Gimana aku bisa tenang?"

Aku tertawa renyah menanggapi kekhawatiran yang dicemaskan Sergio. Wisnu yang dia maksud, adalah saudaranya yang bersedia menjemputku di Bandara Ngurah Rai tengah malam begini.

Ah, setelah aku pikir-pikir kembali, rupanya Sergio tetaplah Sergio yang ku kenal. Dia masih sama seperti dulu. Selalu mengkhawatirkanku, selalu tahu apa yang menjadi keresahanku.

"Aku udah gede Gi. Aku baik-baik aja," balasku untuk meyakinkan Sergio. "Pokoknya thank you buat semuanya. Kamu selalu nolongin aku di waktu aku benar-benar membutuhkan."

Kalau kalian kira aku nyaris luluh sama ucapan tulus yang Sergio ucapkan sore tadi, maka aku harus mengucapkan selamat. Aku akui memang Sergio adalah kelemahan terbesarku.

Seperti Andrew yang lemah akan masa lalunya sebagai dokter, dan seluruh cerita lamanya dengan Lita. Aku pun lemah terhadap Sergio. Namun, walaupun Sergio menjadi kelemahanku, bukan berarti aku tidak bisa menanggulanginya. Memangnya, kalian pikir janji yang kuucapkan di altar saat menikahi Andrew hanya sekedar ucapan di bibir saja?

Setelah mengakui ketulusannya padaku selama ini, Sergio kembali kepada pernyataan yang ku katakan kalau aku sedang mencari tiket pesawat.

-----

"Kamu nyari tiket pesawat? Mau ke mana?"

Aku tertawa geli sendiri karena mengingat kelakuanku seharian ini di rumah sakit. Karena mencari tiket pesawat ke Adelaide mati-matian, aku bahkan sampai lupa kalau pasienku belum aku visite pasca operasi.

"Adelaide."

"Andrew ya?" Tebak Sergio cepat. "Mau sampai di Adelaidenya kapan memang?"

"Kalau bisa ya besok pagi."

Sergio langsung berdecak tak percaya. "Mbok realistis dikit, Mey. Kalau kamu nyari penerbangan di aplikasi, sampai aku nikah lagi, nggak bakalan ketemu dong! Bahkan kebanyakan turun di Melbourne dulu baru kamu bisa lanjutkan ke Adelaide lagi."

Aku mendengus sebal. "Heru juga udah bilang begitu dari tadi. Tapi mau gimana lagi?" Ucapku putus asa. "Kan nggak mungkin juga kalau aku bilang ke Oma mau charter pesawat buat nyusulin Andrew."

"Shift kamu udah habis?" Pertanyaan Sergio itu ku jawab dengan anggukkan. "Kamu langsung ke Bali habis ini. Nanti ku minta sama Wisnu buat siapin perjalanan ke Adelaide malam ini. Tapi mungkin, baru siang besok kamu sampainya."

-----

Dan setelah memakan waktu sekitar tujuh setengah jam, akhirnya aku tiba di Adelaide. Tolong kalian tambahkan juga waktu yang kuhabiskan untuk menunggu di Bali.

Kenapa?

Karena saat Wisnu mengiyakan permintaan Sergio, Wisnu harus mencari pesawat yang benar-benar layak untuk perjalanan non-stop langsung ke Adelaide. Pesawat yang Wisnu siapkan itu baru benar-benar tersedia sekitar pukul 02.00 dini hari.

Kalau pesawatnya sendiri sudah, Wisnu kembali harus mencari jadwal pilot yang lowong. Sekarang pertanyaannya, siapa yang mau menyetir pesawat dari Bali sampai Adelaide pada pukul 02.00 dini hari?!

Akhirnya setelah bernegosiasi cukup lama, Wisnu mendapatkan dua pilot yang bersedia. Tapi aku baru diberangkatkan jam 04.00 pagi akhirnya.

"Kamu bisa sendiri? Mau ditemani?" Tanya Wisnu lagi setelah aku menggendong ransel kecilku. "Walaupun jarang ke Australia, tapi aku cukup akrab dengan Adelaide."

Summer ElegyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang