Andrew
"And thanks to you, I find my way back to be a doctor. Unfortunately, malah kamu yang kehilangan itu semua." Mercy menutup ceritanya tentang kali pertama dia bertemu denganku. Tentunya Mercy menyunggingkan seulas senyuman khas yang dimilikinya. "Harusnya aku lahir delapan atau sembilan tahun lebih cepet."
Aku mengernyitkan dahiku, "Kenapa begitu?"
"Supaya aku bisa ngomong ke kamu buat jangan keluar dan ngundurin diri begitu aja hanya karena perempuan yang udah memilih untuk meninggalkan kamu." Dia menarik napas dalam-dalam untuk mengisi kembali oksigen dalam tubuhnya yang sepertinya banyak terkuras setelah bercerita.
"Mer, if you have known me before, then why you have to be so mad at me like that?" Tanyaku padanya.
Mercy menghampiriku sambil melingkarkan kedua tangannya di leherku.
"Drew, we're married. Itu aja."
"Dan kenapa kalau kita married?"
"Seriously? Kamu yakin kalau kamu seorang pengacara Drew?" Tanya Mercy balik dengan mimik wajah yang menunjukan sedikit kesal. "Kamu tahu nggak sih kalau orang nikah itu ngapain? Ngobrol, cerita, marah, kesal, tapi bahagia."
Aku masih dalam posisi yang sama tanpa menunjukan ekspresi. "Lalu?"
"Serius deh Drew. Kamu nggak ngerti kode apa ya?" Balasnya lagi dengan nada melengking, dan melepaskan lingkaran tangannya dari leherku. "Aku marah sama kamu karena kamu nggak mau ngomong dan cerita. Tandanya aku nggak dianggap sama kamu. Kamu nggak mau cerita sama sama aku tentang Lita, nggak cerita sama aku tentang diri kamu dan masa lalu kamu. Memangnya aku ini cenayang yang bisa tahu isi hati kamu, isi pikiran kamu, dan semua yang nggak kamu omongin itu ke aku?!"
Kini aku terkekeh melihatnya menjadi seperti Mama yang cerewet ketika Papa pulang malam, Papa tidak memberi kabar kalau sudah makan duluan di luar sebelum pulang dan banyak alasan lainnya yang membuat Mama marah.
Dan aku akui, Mercy dan diriku memiliki banyak sekali perbedaan. Perbedaan yang tidak bisa kita selesaikan hanya dalam satu malam. Orang-orang yang sudah menikah bertahun-tahun pun pasti juga memiliki perbedaan yang tak kunjung usai dari pasangannya. Jadi, aku dan Mercy yang baru beberapa bulan ini menikah belum ada apa-apanya bukan?
Kita hanya melewati satu fase saja.
Kami tidak pacaran, dan mungkin... Perasaan kami berdua terlalu dipaksakan oleh Dokter Abby. Namun, terlepas dari segala pemaksaan yang dibuat oleh Dokter Abby dan segala lika-liku rumah sakit yang memusingkan ini, sebenarnya ada satu hal yang dapat aku simpulkan. Aku, secara sadar juga menyetujui pemaksaan yang dibuat Dokter Abby kepadaku dan Mercy.
Tidak mungkin juga aku melarikan diri dan melepaskan diriku dalam rumah tangga yang sudah dibangun beberapa bulan ini.
"Mer?" Panggilku akhirnua setelah memecahkan keheningan. "I have to say, aku tidak jatuh cinta kepadamu. Kamu tahu, kalau Lita sudah menjadi bagian cerita hidupku selama separuh umurku hidup. Dan kamu..."
Mercy melihatku lekat-lekat tanpa bergeming sedetik pun.
"Kamu bukan Lita. Kamu Marceline, dan kamu adalah istriku. Melihatmu bangun di sampingku setiap hari, melihatmu berada di apartemen ini, membuatku menyadari bahwa aku tidak bisa menjalani hari-hariku dengan normal kalau tidak ada kamu."
"Omonganmu mulai gombal kayak Ed, ya Drew?" Katanya dengan senyum nakal yang menjengkelkan seperti saat dia sedang meledekku karena lupa meletakkan remote TV. "Kamu datang di saat aku putus harapan dan putus cinta. Putus harapan karena kedua orangtuaku meninggal dan aku menjadi yatim piatu. Putus cinta karena Sergio menghamili Cynthia. Buatku, kamu itu harapan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Summer Elegy
General FictionBagi Mercy, kebahagiaan itu hanya dua: 1. Bisa tidur dan makan tanpa diganggu. 2. Sergio Romanos. Perjuangannya untuk mendapatkan Sergio setelah bertahun-tahun berusaha akhirnya berhasil, dan kisah cintanya bersama Sergio adalah yang terbaik--menur...