Nine

4.2K 486 17
                                    

Andrew

"Jadi mobil yang nggak ada bagus-bagusnya yang tadi lo bilang itu ternyata Audi? Wah, lo sih sarap!" seru Mercy di dalam mobilku. Kami duduk bersebelahan. Dia di sebelah kursi supir. "Mobil lo segini aja lo bilang nggak bagus, terus mobil gue apa dong?"

"Buat saya memang nggak ada bagus-bagusnya kok," balasku kalem, "Karena mobil ini hadiah dari kakek saya, makanya saya bilang biasa aja."

"Formal banget sih? Gue berasa kayak ngomong sama om-om yang udah tua banget tahu!" keluh Mercy sambil menahan tawa dengan menutupi mulutnya menggunakan salah satu tangannya. "Pake 'gue' 'elo' aja nggak papa kali, Drew?" nada bicaranya diakhiri dengan keraguan seolah merasa salah telah menyebut namaku. "Benerkan? Gue panggil lo 'Drew' nggak papa?"

Aku pun tersenyum samar-samar mengangguk. "Oke, kalau itu mau lo buat pakai 'gue' 'elo' seperti yang lo minta... Mer?" kini malah aku yang merasa ragu untuk memanggil namanya.

Dia terlihat tersenyum lebar ketika aku menoleh kepadanya sekilas, sekaligus melihat kaca spion kanan. "Mer? Bagus juga. Kayak panggilannya Derek buat Meredith."

Derek? Meredith? Siapa mereka? Aku mengernyitkan dahiku karena tidak tahu siapa yang disebutkan olehnya

"Derek sama Meredith, tokoh utamanya Grey's Anatomy. Lo nggak tahu?" tanya Mercy membulatkan kedua matanya, dia terkejut sekali ketika aku tidak mengetahui kedua tokoh itu. "Derek Shepherd, neurosurgeon dan Meredith itu residennya. They fall in love, and they end up marrying each other. Nggak romantis sih, tapi gue seneng sama hubungan mereka berdua."

Ketika aku mencoba mengingat judul Grey's Anatomy yang disebutkannya, aku pun jadi teringat akan serial yang sering Era, kakakku tonton. Dari jaman dia masih sekolah sampai sekarang dia sudah punya anak, dia hobi banget nonton serial drama medis itu. Aku pernah ikut nonton juga beberapa episode kalau dia sedang nonton. Tapi aku nggak suka. Terlalu banyak drama di dalamnya.

"Kalo nonton itu, rasanya gue dapet harapan buat jadi surgeon lagi. Cuma, kalo di refleksiin lagi di kehidupan gue sehari-hari di rumah sakit... Rasanya mustahil deh gue bisa sejago Meredith Grey." Dia berceloteh panjang lebar tentang Grey's Anatomy, tanpa memiliki perasaan bersalah sama sekali. "Salah satu hal yang bikin gue mau jadi dokter itu karena nonton itu. Lo pernah nonton nggak?"

Aku menggeleng.

"Nonton deh! Asli bagus pake banget. Nggak bakalan nyesel!" serunya bersemangat. "Ngomong-ngomong lo bisa kenal Dhani, Yul sama Ed dari mana? Mereka itu terkenal sebagai penunggu rumah sakit yang berwujud tahu."

"Kita temenan udah lama," jelasku. "Udah lamaaa... banget."

Dia mengerucutkan bibirnya karena bete aku hanya menjawab seperti itu saja. Aku yakin sebenarnya dia juga penasaran sekali karena aku bisa berteman dengan tiga hantu berwujudnya Rumah Sakit Effendi. Mereka bertiga dari dulu memang jarang pulang. Aku tahu itu.

"Kalo begitu lo kenal mereka bertiga cukup baik dong?" tanyanya. "Dari mereka bertiga siapa yang mending?"

Aku mengedikkan bahuku sambil terkekeh pelan. "Kalo lo masih perawan jangan mau jalan lama-lama sama Ed—istri temennya sendiri diembat. Kalo lo suka duda yang uangnya udah lumayan gue anjurin Dhani. Tapi kalau mau cowok yang baik-baik aja dan nggak macem-macem, Yul."

"Kalo lo gimana?"

Aku menoleh padanya setelah mendengar dia bertanya begitu. "Gue gimana apanya?"

"Lo nggak mau menganjurkan diri lo sendiri buat gue gitu?"

"Gue bukan orang yang dipilih sama Dokter Abby dan Jason, Mer."

Summer ElegyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang