Mercy
Aku senang membayangkan sesuatu yang indah.
Dari dulu, impianku adalah untuk memakai baju pengantin putih yang cantik dan sederhana. Aku berjalan di atas mawar merah yang menyerupai karpet merah menuju altar.
Dekorasinya di dominasi warna putih dan emas.
Simpel dan elegan.
Tapi...
Semua tidak sesuai ekspektasi yang bisa ku bayangkan sepertinya. Tentu saja, Oma nggak akan tinggal diam kalau aku menikah. Dekorasi berwarna meriah dan mencolok adalah kunci pesta sukses menurutnya.
Aku harus akui bahwa aku sendiri terkejut saat melihat altar gereja yang biasanya kalem berubah meriah karena dekorasi yang dipilih Oma. Ingin rasanya aku kabur dan meminta agar dekorasinya diubah.
But, the show must go on isn't?
"Kamu pasti kesel sama warna dekorasinya ya?" bisik Andrew kepadaku, di saat pendeta sedang memberikan kotbah pernikahan. "Ini bukan warna yang ku mau juga."
Aku mengembuskan nafas berat sebagai jawaban kepadanya. "Aku juga tahu, Drew. Ini warna dekorasi tahun Oma nikah sama Opa kali. Tua banget."
Kami memang bukan pasangan yang saling mencintai sejak awal. Namun, aku akui kami memiliki komitmen. Mungkin itulah yang membuat kita berada di depan altar saat ini.
"Tuhan yang mempertemukan dan Tuhan yang menyatukan. Jangan kiranya manusia, yang adalah ciptaan-Nya memisahkan," kata Pendeta dalam kotbahnya. "Sebagai suami, Andrew, kamu adalah pemimpin dan kepala keluarga, jadikanlah istrimu sebagai pendampingmu yang sepadan, jangan sekali-kali memandangnya rendah karena merasa kamu adalah suaminya. Marceline, kamu adalah istri. Kamu yang mendampingi suamimu, dialah kepala keluarga yang harus kamu hormati. Jangan sampai ada dua kepala di dalam satu rumah."
Pesan pernikahan yang diucapkan Pendeta barusan menjadi pegangan bagiku.
Andrew mungkin lemah dalam pikirannya karena apa yang dia alami dan rasakan. Namun aku, sebagai wanita yang telah menikahinya harus mampu untuk mendampinginya.
Ini bukan masalah sehari yang akan cepat berakhir bukan?
Tugas ini seumur hidup.
-----
Andrew
Aku selalu membayangkan pernikahanku dengan Lita. Dia yang memakai gaun putih menjuntai panjang indah di belakang. Wajahnya berhiaskan senyuman yang tak berhenti.
Tapi itu semua dulu.
Kini, aku tidak bisa membayangkan Lita yang memakai gaun putih itu lagi karena aku memiliki Mercy yang nyata ada di hadapanku saat ini.
Mercy yang merekahkan senyumannya di hadapan ku dan jemaat setelah aku membuka kerudung tipis yang menutupi wajahnya. Riasan wajahnya yang minimalis, membuatnya tidak terlihat lelah seperti biasanya saat sedang jaga di rumah sakit.
"Andrew, you may start saying your wedding vow to Mercy," kata Pendeta yang memberkati kami.
"I, Andrew Kristoff Airlangga, take you, Marceline Irena Effendi-Han, to be my wife, and these things I promise you. I will be faithful to you and honest with you I will respect, trust, help, and care for you. I will share my life with you. I will forgive you as we have been forgiven and I will try with you better to understand ourselves, the world and God, through the best and worst of what is to come, and as long as we live."
Aku mengucapkannya.
Janji yang harus ku tepati selama ku hidup dengannya mulai detik ini. Mercy menjadi tanggung jawabku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Summer Elegy
General FictionBagi Mercy, kebahagiaan itu hanya dua: 1. Bisa tidur dan makan tanpa diganggu. 2. Sergio Romanos. Perjuangannya untuk mendapatkan Sergio setelah bertahun-tahun berusaha akhirnya berhasil, dan kisah cintanya bersama Sergio adalah yang terbaik--menur...