Mercy
Hari baru, semangat baru!
Semangat baru, tampilan baru dong!
Aku bisa merasakan pandangan orang-orang disekitarku yang melihatku sedikit berlebihan hari ini. Mungkin mereka terpesona kali ya dengan tampilanku hari ini?
"Lo kenapa Mey?" Tanya Heru yang memandangku aneh seperti orang-orang yang tadi juga melihatiku. "Gue kira lo cuma sakit biasa aja. Ternyata kejiwaan lo kena juga?"
Kejiwaanku?
Heru dan aku sama-sama melangkah ke arah ruang istirahat, untuk membenahi diri kami—yang sebenarnya persiapan untuk berjaga selama 48 jam non-stop. Ini adalah tugas akhir dari konsulen kami sebelum kami dinyatakan lulus sebagai residen tahun pertama. Siapa yang mengerjai kami tidak perlu ditanyalah ya. Tentu saja Dhani Dharmawan.
Aku tidak pulang ke rumah sejak dua hari lalu, sampai Oma dan Opa bilang mereka akan pergi ke Bali untuk konferensi dengan Menkes. Aku pun pulang, dan menghabiskan waktuku di rumah.
Hari ini, aku kembali lagi ke rumah sakit untuk menerima tugas akhirku.
"Wow! Lo kenapa Mey?" komentar Roni yang kini terkejut melihatku.
"Kenapa gimana?" tanyaku heran.
"You do your eyebrows, lo pake make-up!" Serunya, "Keliatan banget, Mercy!"
"Lo nyatok rambut lo juga?!" pekik Dea tak percaya, "OMG! Gila sih, lo sempet banget buat gulung-gulung ujung rambut lo biar keliatan badai?"
"Makanya gue bilang tadi, dia bukan sakit biasa tapi kena juga kejiwaannya."
Aku mengembuskan napas panjang melihat ketika teman-temanku yang baru pulang dari Bandung kurang dari 12 jam yang lalu. Aku tahu, seminar tentang bioetika itu memang menguras tenaga dan pikiran, tapi apa terlalu drastis penampilanku?
"Kalian semua biasa aja bisa nggak?" tanyaku sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Pertama, kejiwaan gue baik-baik aja. Kedua, gue nggak berubah—it's just make-up—oke?" aku meyakinkan mereka, lalu mengambil snelliku yang ada di dalam loker. "Ketiga, hape gue udah geter-geter dari tadi."
Komandan Bedah.
Aku menunjukkan ponselku pada teman-temanku. Tentu saja caller ID itu tetap menakutkan bagi kami berempat.
Aku menggeser layar ponselku untuk menjawab panggilannya.
"Halo Dok—"
"KALIAN BEREMPAT DIMANA HAH!?" serunya dari ujung telepon sana memotong sapaanku yang belum selesai aku ucapkan. "DUA MENIT SAMPAI DI RUANGAN SAYA ATAU KALIAN SEMUA JADI RESIDEN TAHUN PERTAMA LAGI!"
Sambungan langsung terputus.
Kami berempat saling pandang satu sama lain.
"Dua menit dari sekarang..." gumam Heru. "Buruan pake snelli lu pada! Kita jalan cepet."
Kami berempat pun segera mengenakan snelli kami, dan keluar dari ruang istirahat. Melewati lobby rumah sakit yang agak ramai di pagi hari ini, hingga kami sampai di depan ruangan komandan kami.
"Damn! Telat semenit!" rutuk Roni.
"Masuk woi! Cepetan!" seru Dea pada Roni yang tidak mau membuka pintunya.
Aku mengembuskan napas panjang lalu maju paling depan untuk membuka pintu itu duluan. Saat aku hendak mendorongnya, mata ketiga kawanku langsung membulat ketakutan.
"Percaya sama gue, dia nggak bakal macem-macem. Gue udah bolak-balik telat kali!"
Tanpa banyak basa-basi lagi aku pun membuka pintu ruangan Dokter Dhani.
KAMU SEDANG MEMBACA
Summer Elegy
General FictionBagi Mercy, kebahagiaan itu hanya dua: 1. Bisa tidur dan makan tanpa diganggu. 2. Sergio Romanos. Perjuangannya untuk mendapatkan Sergio setelah bertahun-tahun berusaha akhirnya berhasil, dan kisah cintanya bersama Sergio adalah yang terbaik--menur...