Twenty Three

3.8K 472 3
                                    

Mercy

"Awas tumbang lagi nanti abis malem pertama Mey," celetuk Roni yang baru masuk ke dalam ruang istirahat residen, masih lengkap dengan pakaian operasinya yang sudah basah akibat keringat. "Nggak nyangka aja gue kalo lo bisa move on dari Sergio. Dulu mana mau lo nikah kalo nggak sama Sergio?"

Aku langsung melempari Roni dengan roti coklat yang paling dekat denganku.

"Gue emang lagi laper Mey. Tahu aja lu..."

Sekarang aku jadi bulan-bulanan temanku sendiri, maupun konsulen. Awalnya sih aku anggap mereka perhatian karena selalu memberitahuku untuk banyak istirahat, makan yang sehat, juga jatah jaga malam ku dikurangi. Tapi belakangan, kok rasanya bukan perhatian lagi.

Malahan, mereka membahas soal pernikahanku yang tinggal beberapa hari lagi kalau dihitung. Tanggal 12 Desember. Sekarang ini tanggal... 10.

Astaga, lusa nanti aku nikah beneran?!

"Boro-boro mikirin malem pertama ya Mey? Entar malem aja masih ada operasi usus buntukan?" Celetuk Heru yang sudah beres dengan makannya.

Ya, aku dapet 'hadiah' dari Dokter Dhani untuk mengoperasi pasien usus buntu solo. Iya, kalian benar. Akulah yang menjadi dokter utamanya. Tanpa menggunakan laparoskopi.

"Solo surgery? Gilaaa!!! Kita semua masih ngarep-ngarep jadi asisten pertama, dia udah dapet jatah buat solo surgery dong!"

Kalau dipikir-pikir, harusnya aku senang karena mendapat kehormatan untuk menjadi mengoperasi sebagai dokter utamanya. Tapi di sisi lainnya juga, aku merasa jengkel. Waktunya ini yang kurang pas untuk melakukan operasi itu.

Tenaga ku sudah habis lenyap tersedot untuk segala persiapan pernikahanku. Oma tentunya tidak membiarkanku untuk melepaskan semuanya kepada wedding organizer yang sudah kami sewa. Andrew pun juga harus bolak-balik mengantarku ke sana-sini meski aku bilang aku bisa sendiri.

"Yang ada lo nggak jadi malem pertama dong, nanti Mey..." Kata Dea dengan nada kecewa. *Padahal gua nungguin cerita malem pertama lo sama Andrew. Kan ganteng tuh..."

Heru yang berada paling dekat dengan Dea langsung menempelengnya. "Makanya minta pacar lo buat kawinin dong."

"Yah tapi kalo gue hamil kan jadi masalah baru yang ada. Elo sama Roni mah enak, nggak ada aturan. Lah cewek? Kita nggak boleh hamil selama lagi PPDS ini kalo mau nikah," jelas Dea.

Aku pun menarim napas panjang lagi.

Jadi perempuan memang selalu double standard. Apalagi dalam profesi yang ku emban. Percaya atau tidak, lebih baik tidak menikah dulu kalau mau PPDS. Banyak temanku—perempuan tentunya—yang sudah menikah, dan lebih cerdas dariku. Tapi mereka semua gagal saat wawancara.

Karena mereka sudah tahu calon peserta ini telah menikah, maka pertanyaan yang muncul adalah: apa Anda tetap akan bekerja setelah lulus nanti? Bagaimana kalau ternyata anak Anda nantinya membutuhkan Anda di rumah?Bagaimana kalau suami Anda tidak bisa terima dengan waktu Anda yang tersita di rumah sakit?

Alhasil?

Teman-temanku lebih banyak yang jaga di klinik. Kalau pun ada yang di rumah sakit, mereka menjadi dokter jaga saja. Maka dari itu, Dea dan aku tergolong sebagai perempuan yang beruntung. Bukan karena kita belum menikah waktu mendaftar PPDS, dan diterima. Tapi karena kami diterima di PPDS bedah. Gimana nggak beruntung coba?

"Berarti lo nggak boleh hamil dulu dong, Mey?" Tanya Roni yang telah menghabiskan roti yang ku lempar tadi. "Kuat nggak tuh laki lo nanti tuh?"

Bisa jangan bahas ini dulu nggak?

Summer ElegyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang