Mercy
"Kalian seneng ya gue jadi tumbal demi rumah sakit ini?" Tanyaku jengkel masih mengerjakan laporan untuk bisa kuserahkan ke Dokter Dhani saat jam jagaku selesai hari ini. Setidaknya, mulai minggu depan aku sudah tidak perlu setiap hari lagi di UGD. Karena hukuman Dokter Dhani untuk kami berempat sudah berakhir.
Namun seperti keluar dari kandang macan, masuk lagi ke dalam kandang singa. Iya, aku memang menyelesaikan hukumanku hari ini. Tapi masalah sebenarnya baru saja akan dimulai.
Bagaimana tidak?
Dokter Dhani, Dokter Yulius dan Dokter Edmund semuanya berlomba-lomba memberikan perhatian kepadaku. Mereka tidak pernah melewatkan jam makan untuk memberikan aku, juga teman-temanku, makanan. Mulai dari sarapan, makan siang dan makan malam. Ah, terkadang mereka juga mengirimkan kue atau snack kecil.
"Biarin sih, Mey," balas Dea yang sedang menikmati strawberry cheese cake. Dea sih kesenengan dari kemaren karena dapet makanan gratis terus. "Kalo lu nggak suka kan masih ada kita-kita yang membutuhkan makanan enak, gratis, bergizi lagi!"
"Lo harus cobain juga, Mey, jangan sibuk sama laporan mulu. Entar cepet mati lu," ledek Roni.
"Gue nggak mau panas-panasin lo kayak duo cunguk ini. Tapi beneran, ini kue enak banget Mey. Gue nggak ngerti lagi Dokter Edmund belinya di mana!" Seru Heru juga.
Aku sudah menahan perasaan kesalku sejak berhari-hari lalu. Namun teman-temanku juga seneng sih dapet makanan gratis. Lagian gaji residen seberapa sih? Kalo dihitung-hitung total harga makanan yang sudah diberikan dokter-dokter itu, mungkin sudah mencapai setengah gaji kami sebagai residen.
Heru yang dari kemarin pro denganku, dan tidak terlalu mengurusi makanan pemberian dokter-dokter itu, hari ini pun lemah juga. Dia sudah menambah kue potongan ketiga. Aku senang kalau teman-temanku juga senang. Tapi kalau mereka senang sementara aku tidak senang bagaimana?
Namun memang dasarnya natur alami perutku berbunyi mulu karena kelaparan. Sebenarnya, mau sedang lapar atau tidak, tetap saja aku lapar. Aku selalu dijuluki karung bolong semasa sekolah dulu. Asal ada makanan selalu kuhabiskan. Makanan favorit? Tentu aku suka semua makanan. Hanya saja kalau kuberitahukan makanan favoritku, nanti kalian kaget.
"Sini bagi gue!" Seruku setelah aku selesai dengan laporan pasien yang terakhir.
Baru saja aku memasukkan satu suap ke dalam mulutku, ponsel Heru berdering. Aku tidak mengerti siapa yang menelepon dan apa yang mereka bicarakan. Yang kutahu hanyalah betapa enaknya strawberry cheese cake ini. Dokter Edmund punya selera yang bagus juga rupanya.
"Siap mengerti Dok!" Seruan Heru membuat kami semua terkejut.
"Ada apa Her?" Tanyaku sigap. Biasanya kalau Heru habis dapat telepon kayak gitu pilihan ada dua. Entah kami disuruh jaga malam dadakan, atau kami kena hukuman.
"Dokter Dhani bilang habis kita kumpulin laporan ini, kita diajak beliau untuk makan malam," jelasnya. "Jadi beliau minta kita sekarang buat ke sana! Yok! Cepetan! Gue udah laper parah nih!"
"Heh, gue baru makan satu suap!"
"Siapa suruh lo nggak makan dari tadi Mey," timpal Dea, "Sambil jalan aja makannya. Biar gue bawain laporan lo." Saran yang tidak terlalu aman itu aku ikuti juga. Habis aku beneran laper dong. Tiga cecunguk itu sudah hampir menghabiskan strawberry cheese cake berdiameter 20 centi itu. Kalau aku tinggalin di sini lagi, yang ada nggak kebagian sama sekali.
Kami bertiga keluar ruangan istirahat menuju ruangan Komandan Bedah. Aku masih mengunyah kue itu pelan-pelan untuk menikmati rasanya yang fantastis. Ya Tuhan, harusnya tadi aku perhatikan lagi dimana Dokter Edmund membelinya. Aku juga mau beli sendiri sih kapan-kapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Summer Elegy
General FictionBagi Mercy, kebahagiaan itu hanya dua: 1. Bisa tidur dan makan tanpa diganggu. 2. Sergio Romanos. Perjuangannya untuk mendapatkan Sergio setelah bertahun-tahun berusaha akhirnya berhasil, dan kisah cintanya bersama Sergio adalah yang terbaik--menur...