Mercy
"Dok, Dok," panggil seorang perawat yang ada untuk membangunkanku. "Pasien di kamar 923 tiba-tiba napasnya makin buruk Dok."
Aku yang baru membuka mataku dari tidurku, langsung mengambil rekam medis milik pasien itu untuk membaca riwayatnya. Seorang laki-laki berusia lima puluh lima tahun, sudah beberapa hari ini dirawat karena sesak napas yang berkepanjangan selama dua minggu terakhir. Dokter jantungnya adalah Dokter Yulius.
"Sus, tolong segera hubungi Dokter Yulius," kataku, segera setelahnya aku masuk ke dalam kamar 923 itu. Hanya ada pasien itu, dan memang dia sangat tidak sehat. Aku tidak sempat memperkenalkan namaku dulu, aku segera menekan-nekan perutnya dan bertanya apakah dia merasakan sakit di sekitar area yang ku tekan.
"AAARGH!!"
Ah, sakitnya berada di samping perut. "Punggungnya juga sakit?"
"Sa-sa-sangat.. Dok..." jawabnya tersengal-sengal. Tak lama setelahnya dia batuk, saat aku melihat tangannya, ternyata ada darah yang keluar. "Dar.. ah.. la.. gi..."
"Lagi?" ulangku. Aku pun tidak sanggup untuk berpikir panjang lagi, segera saja aku menekan tombol darurat. "Tolong siapkan satu ruangan operasi sekarang juga!" Aku mendorong pasien itu keluar dari kamar perawatannya untuk dipindahkan ke dalam ruang operasi sesegera mungkin.
Begitupun perawat yang menghubungi Dokter Yulius ikut bersamaku ke dalam ruang operasi.
"Dokter Mercy," panggil Dokter Via, ahli anestesi yang hari itu sedang berjaga di ICU, "Dokter memanggil saya?"
"Iya, saya butuh anestesi untuk operasi," balasku. Dokter Via mengerti dan langsung mencuci tangannya. Aku pun menunggu Roni untuk datang agar bisa membedah pasien itu bersama.
Pada akhirnya akulah yang membedah, karena Roni mengatakan tidak mau mengambil resiko atas diagnosis kilat yang kulakukan. Aku pun tak punya pilihan lain lagi karena aku telah sangat yakin dengan diagnosis yang kulakukan meski sangat singkat.
Aneurisma aorta abdominal. Itulah diagnosisku.
Aku berhasil membersihkan pendarahannya dan tentunya memperbaiki pembuluh darahnya yang pecah.
Ketika aku telah selesai menutup, jam telah menunjukkan pukul setengah lima pagi.
Di situlah Dokter Yulius datang dan melihatku seperti seseorang yang telah melakukan pembunuhan.
Setelah pasien yang ku operasi dipindahkan ke ruang perawatannya lagi, Dokter Yulius segera memanggilku untuk bertemu dengannya di ruangannya. Saat aku masuk ke dalam, tak ku sangka ternyata Dokter Dhani pun ada di sana. Raut wajahnya masih kelihatan lelah, bahkan aku bisa menebak, mungkin beliau tidak mandi sama sekali.
Jam dinding ruangan Dokter Yulius masih menunjukkan pukul setengah enam, tapi aku sudah dihujani hujatan-hujatan dari mulut pedas Dokter Yulius yang secara jelas tidak menyukai keputusanku untuk melakukan pembedahan terhadap pasien yang ditanganinya.
Hei, aku menyelamatkan pasiennya lho!
"KAMU SADAR TIDAK APA YANG KAMU BARU SAJA LAKUKAN?!" seru Dokter Yulius padaku dengan nada suara yang amat tidak bersahabat.
"Tahu Dok. Sadar."
"LALU KENAPA KAMU MASIH MELAKUKANNYA KALAU TAHU?" tanyanya lagi. "KAMU ITU BUKAN DOKTERNYA!"
Aku tahu betul.
Aku hanya dokter yang berjaga malam di bangsal, sedangkan yang tanggung jawab penuh pasien ini adalah dirinya. Lalu, apakah itu berarti aku hanya membiarkan pembuluh darah pasien yang sudah pecah tadi semakin parah?
KAMU SEDANG MEMBACA
Summer Elegy
General FictionBagi Mercy, kebahagiaan itu hanya dua: 1. Bisa tidur dan makan tanpa diganggu. 2. Sergio Romanos. Perjuangannya untuk mendapatkan Sergio setelah bertahun-tahun berusaha akhirnya berhasil, dan kisah cintanya bersama Sergio adalah yang terbaik--menur...