Andrew.
Aku melangkah masuk ke dalam Rumah Sakit Effendi yang sudah lama sekali tidak aku datangi sejak aku memutuskan untuk berhenti. Kali ini, aku datang lagi ke dalam rumah sakit ini atas panggilan klienku. Iya, kalian nggak salah, aku memiliki klien di sini.
"Will," panggilku ke William.
"Oit?" balas William.
"Rumah sakit ini masih aja bau etanol," balasku.
"Lah, elo sehat? Kalo mau bau kopi, gih ke Starbucks!" kata William jengkel. Aku tahu dia pasti jengkel karena aku mengganggu hari liburnya dari sidang. Oh ya, William memang pengacara yang sudah bolak-balik keluar-masuk ruang sidang. Kali ini, dia memang jadwal sidangnya penuh.
Kasusnya yang hari Selasa adalah kasus pencemaran nama baik. Hari Rabunya, adalah kasus sengketa waris yang tidak kunjung selesai meski pewarisnya sudah meninggal lima tahun lalu. Kamis adalah harinya untuk sidang perkara penggelapan dana perusahaan. Jumatnya memang dia libur.
Tapi hari ini harusnya dia menyiapkan berkas-berkas untuk sidang perkaranya besok, dan aku malah mengajaknya untuk ke rumah sakit ini guna bertemu klienku. Aku memintanya menemaniku agar ada temen aja sih sebenernya, apalagi kalau ke rumah sakit.
"Gue beli kopi dulu ya Drew? Ngantuk parah nih!" Katanya sambil mengucek-ngucek matanya. "Nanti tingkat kegantengan gue menurun drastis dan kaum Hawa berteriak histeris karena pujaannya jadi jelek gimana?"
"Halah, dari dulu juga lo emang jelek kali."
"Lah iya ya? Nggak papa." William langsung membuka matanya lebar-lebar, sambil mengatakan kalimat pamungkasnya, "Muka boleh Hanoman, yang penting rejeki Arjuna!"
Tuh kan.
Dia ngomong itu lagi. Dari dulu semua cewek yang dideketin sama dia juga luluh lantak karena dianya aja yang jago gombal. Tapi, ceweknya juga sih yang hobinya digombalin sama Hanoman satu itu.
Aku berdiri di depan lobby rumah sakit menunggu William yang sedang mengantre membeli kopi di salah satu coffee shop yang ada di dalam gedung rumah sakit tersebut.
Aroma steril rumah sakit, dan sibuknya rumah sakit ini sudah lama tak kurasakan. Aku melihat banyak dokter yang memakai jas putih berlalu-lalang di sana. Perawat pun juga sibuk berjalan kesana-sini. Sampai aku memerhatikan ada seorang perempuan yang sedang berjalan lurus-lurus saja tanpa memerhatikan sekitarannya.
Perempuan itu berjalan menunduk. Dia memasukkan tangannya ke dalam jas putihnya, rambutnya diikat habis ke belakang asal-asalan. Dia sepertinya sedang tidak sibuk, karena dari tempo jalannya tidak terlalu cepat. Ada stetoskop yang melingkar di lehernya. Dia berjalan semakin dekat, dan mengarah kepadaku. Dia menabrak bahu kananku—tepatnya, dahinyalah yang menabrak bahu kananku.
Dia mendongak, melihatku.
Aku menangkap sepasang mata coklat yang ekspresif. Dia memiliki kulit putih bersih, hidungnya tidak terlalu mancung, bibirnya merah tebal alami. Dia memiliki kesan wajah yang chubby, dan aku bisa tahu bahwa dia pasti sangat kurang tidur. Itu semua terlihat jelas dari kulit di sekitaran mata bawahnya yang menghitam.
"Anda dokter?" tanyaku penasaran saja. Sebenarnya aku tahu dia adalah dokter. Mana mungkin perawat memakai jas putih berlengan panjang sepertinya? "Kalau Anda sendiri tidak waspada dengan orang-orang sekitar Anda bagaimana Anda bisa menangani orang lain?"
"Maaf, saya tadi nggak lihat," balasnya.
Aku memerhatikan ID card yang berada di sebelah kiri jasnya.
dr. Marceline I. Effendi-Han. Residen Bedah.
Rupanya residen spesialis bedah. Ah, dia pasti kenal sama Dhani.
KAMU SEDANG MEMBACA
Summer Elegy
General FictionBagi Mercy, kebahagiaan itu hanya dua: 1. Bisa tidur dan makan tanpa diganggu. 2. Sergio Romanos. Perjuangannya untuk mendapatkan Sergio setelah bertahun-tahun berusaha akhirnya berhasil, dan kisah cintanya bersama Sergio adalah yang terbaik--menur...