Thirty One

3.1K 375 17
                                    

Mercy

"I love you Gi."

"Love you too, Mey."

Aku masih mengingat jelas bagaimana suara Sergio saat dia bilang dia mencintaiku dulu.

Dulu.

Kalau sekarang dia bilang cinta sama aku, enggak bakalan aku gagas juga. Ayolah, masa aku mau tukar tambah Sergio sama Andrew?

Andrew mau ditukar sama calon spesialis obgyn?

Apakah aku sehat?

"Kamu mau pergi sama suamimu?" Tanya Sergio.

Dia mengajakku untuk berbicara di taman rumah sakit. Sementara Andrew menungguiku di mobil. Katanya sih, sekalian manasih mobil. Tapi aku tahu itu akal-akalannya dia aja biar aku bisa ngobrol berdua dengan Sergio.

Awalnya aku akan menolak ajakan Sergio untuk berbicara. Maksudku, untuk apa aku harus bicara dengan laki-laki yang sudah selingkuh, dan menghamili perempuan lain? Ku rasa tidak ada hal lain lagi yang perlu dijelaskan di antara aku dan Sergio.

"Kamu udah nolak buat bicara sama dia waktu kamu sakit gigi. Sekarang enggak ada alasan buat nolak. Aku tunggu di mobil."

Andrew meninggalkanku begitu saja, dan menyisakanku dengan Sergio.

Kalau di lihat dari pakaiannya, sepertinya dia baru akan masuk jaga.

"Mey?"

Aku mengerjapkan mataku dari lamunanku saat mendengarnya memanggil namaku. Astaga, pikiranku memang tidak sedang di sini. Atau mungkin, lebih tepatnya, aku tidak ingin untuk berbicara dengan Sergio lagi. 

"Kamu mau pergi sama suamimu?" dia mengulang pertanyaan yang belum aku jawab tadi karena lamunanku terlanjur membawaku memikirkan hal-hal lainnya. 

Aku menggeleng pelan sambil melengkungkan bibirku ke atas sedikit, "Nope, but we'll have a something coming tonight. Hm... Semacam pesta kecil-kecilan gitu buat Andrew. Di rumah doang, well di apartemen sebenernya. So, we have to go and make some dishes for our guests.

Oke, ini awkward banget. Aku bahkan enggak ngerti kenapa aku sampai cerita kalau aku mau mengadakan pesta kecil untuk Andrew padanya!

"Kamu bisa masak sekarang, Mey?" 

"A little," jawabku sambil memberikan gestur dengan mendekatkan jari telunjuk kanan dan ibu jari tangan kananku. "Andrew is a lot better at cooking. Tapi setidaknya aku udah bisa megang pisau dapur sekarang, bukan cuma pisau bedah." 

Sergio mengangguk-anggukan kepalanya pertanda bahwa dirinya setuju dengan ucapanku barusan. 

"Tadi lo mau ngomong?" Tanyaku kini padanya, karena sepertinya dia tak kunjung menunjukkan akan mengatakan sesuatu. Yang dilakukannya dari tadi hanya sebatas pertanyaan basa-basi. "Mau ngomong apa, Gi?"

Sergio menyunggingkan senyuman, yang biasa dia buat ketika dirinya merasa tidak enak atau ingin melakukan sesuatu yang dia anggap tidak benar. Entah yang mana yang sedang dia rasakan. Aku enggak tahu.

"Sorry for everything, Mey," akhirnya dia mengeluarkan apa yang dia inginkan. "I'm filing a divorce to Cynthia."

Oh wow!

Kalau saja dia mengatakan itu saat aku masih galau dan rapuh, mungkin aku langsung melompat kesenangan dan memeluknya.

Ayolah, jangan munafik.

Aku menyukai Sergio dari awal aku kuliah kedokteran. Tiba-tiba dia mematahkan hatiku. Kalau dia tiba-tiba juga bilang mau cerai dari Cynthia tentu aku akan senang.

Kalau aku masih galau dan rapuh. Tolong diingat. Jangan emosi dulu.

"Dan anak yang dikandung Cynthia saat itu, bukan anakku, Mey."

Bukan anaknya? Ulangku dalam hati.

Terus itu anak siapa?

"Anak itu... Anaknya Fino."

Fino. Dia teman dekat Sergio yang belum lama menikah sebelum Sergio bilang dia menghamili Cynthia. Fino juga seorang residen obgyn, tapi dia berada satu tingkat di bawah Sergio saat PPDS.

"Kamu ingat waktu aku bilang ada studi banding di luar kota selama empat hari?" Pertanyaannya itu otomatis membuatku mengangguk.

"Entah sial atau kebetulan, rumah sakit mengirim aku, Fino, Cynthia, dan Anggia. Walaupun begitu, Fino tetaplah Fino, mekipun dia sudah menikah. Di malam ketiga, dia mabuk dan tidak sadar kalau dirinya salah masuk kamar. Di pagi harinya, Cynthia meneleponku dan menceritakan semuanya kepadaku dan Anggia. Kita semua tahu kalau Cynthia pacarnya Dokter Yulius. Kita enggak bisa mikir jernih dan kita anggap kalau semuanya baik-baik saja. Sampai beberapa bulan kemudian Cynthia mengabariku kalau dirinya hamil."

Sialan. Kenapa dia enggak cerita tentang hal ini dari dulu?!

"Dia enggak bisa cerita apapun, dan ke siapapun. Hanya aku dan Anggia yang tahu. Sampai akhirnya aku bilang kalau aku mau bertanggung jawab untuk bayinya."

Sisa ceritanya tidaklah penting. Karena ku rasa, kita semua sudah tahu kalau selanjutnya anaknya itu stillbirth dan bla bla bla.

Setelah seluruh cerita Sergio selesai, aku pun menarik napas dalam-dalam dan menatapnya dengan tatapan skeptis.

"Kamu gila ya, Gi? Selama ini aku tulus sayang sama kamu, tapi ternyata kamu bohong sama aku. Bahkan sampai cara kita putus aja enggak menunjukkan kalau kamu tulus sama aku," jelasku. "Dan kamu dengan entengnya bilang mau cerai?  Is there any sincerity in your action for others. If it wasn't me, at least show that you're being sincere to other people. Especially when she is your wife!!"

Aku jadi geram sendiri dengan laki-laki yang berada di hadapanku saat ini. Dia sama sekali tidak seperti Sergio yang ku kenal. Dia bukanlah Sergio yang aku puja-puja.

"Kalau niatmu sebenarnya ingin meminta maaf padaku, baiklah. Aku sudah memaafkanmu, Gi," jawabku padanya. "Tapi aku mungkin akan berpikir ulang lagi kalau kamu mau menceraikan Cynthia. At least make something works for your marriage, Gi. Kamu memilih dia saat itu, padahal bukan salahmu sama sekali. Bahkan kamu tahu kan kalau kamu jadi bahan gosip perawat-perawat di seluruh rumah sakit karena lebih milih dokter gigi ketimbang aku, yang notabeneya adalah pemilik rumah sakit tempat kamu kerja."

Sergio melihatku dengan tatapan yang lebih lega dari sebelumnya tadi. "Suami kamu beruntung punya kamu Mey."

"Istri kamu juga beruntung punya kamu, Gi," jawabku dengan senyuman. "Bisa memiliki kamu selama beberapa tahun aja udah membuatku merasa sangat beruntung. Jadi, tolong buat istri kamu lebih beruntung karena berhasil mendapatkan laki-laki yang aku taksir selama bertahun-tahun menjadi miliknya seutuhnya. Aku cuma kebagian sedikiiiiit banget! Enggak ada apa-apanya dibanding istri kamu, Gi."

Sergio tertawa karena ucapanku yang hiperbola.

"Jadi, tolong jangan cerai Gi—atau kalaupun kamu harus bercerai juga pada akhirnya, aku mau kamu sudah berjuan untuk pernikahanmu. Lakukan sesuatu," kataku padanya, "Andrew dan aku pernah buntu karena kurang komunikasi. Tapi beruntunglah ada Oma yang cerewet dan selalu kepo sama urusan cucunya ini."

"Dokter Abby is the best."

Aku mengangguk setuju. "Oma memang yang terbaik."

-----

Setelah aku menyelesaikan pembicaraanku dengan Sergio, akhirnya aku berjalan menuju mobil.

Saat masuk ke dalamnya, udara di dalam mobil sudah dingin karena AC yang dinyalakan sudah cukup lama berputar dalam ruang tertutup ini.

"Done?"

Aku mengangguk bangga. "Aku bangga karena berhasil membuat seseorsng batal bercerai. Setidaknya."

"Oke, sekarang kita bisa belanja buat siapin makan malam. Aku enggak yakin tamu-tamu kita akan sabar kalau sampai kita terlambat."

"Mereka semua ganas kalau soal makanan!" Seruku. "Ayo belanja!"

Summer ElegyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang