Andrew
Sepeninggal ruangan itu, tak henti-hentinya aku mengutuk Hanoman di sebelahku yang telah membawa nasib seorang perempuan jadi kacau hari ini. Bukannya apa-apa, aku tahu wasiat juga merupakan sumber hukum, tapi orang ini nggak bisa mikirin perasaan orang lainkah?
"Gue nyesel ngajak lo ke sini," kataku.
"Lah gue seneng diajak lo. Pagi-pagi udah ditraktir makan sama Pak Dok dan Bu Dok," jawabnya. Memang tadi di ruangan itu Dokter Abby dan Dokter Jason menjamu kami dengan sarapan kecil. Tapi Hanoman ini malah nggak tahu diri. Makannya banyak banget. "Gue juga seneng jadi bisa ngeliat banyak dokter-dokter sama suster-suster cantik"
"Lain kali gue sendirian aja kalo ke sini," balasku.
"Nggak bisa gitu dong... gue udah lo sebut sebagai asisten kan tadi?"
"Lagian jadwal sidang lo banyak!"
"Bentar lagi semuanya juga kelar. Tinggal ketok palu..."
"Terserahlah!"
Aku menyerah pada akhirnya. Emang susah ngomong sama orang susah ya. Nggak bisa diajak mikir!
Aku dan William turun ke lantai bawah. Iya, kami berencana balik ke kantor sebelum aku harus mengajar di kampus. Ah, aku mengajar beberapa mata kuliah di Philantrophy University. Meski bukan lulusan universitas itu, tapi sewaktu aku lihat ada pendaftaran dosen baru aku mencobanya. Luckily, I got accepted! Jadilah saat ini aku sebagai 'Pak Dosen.'
"Ngomong-ngomong kalo ada mahasiswi yang cantik di kampus nanti kabarin gue ya? Biar bisa gas poll gue," kata William. "Siapa tahu aja jodoh sama gue yekan?"
"Semua cewek juga lo bilang 'siapa tahu jodoh sama gue' padahal ujung-ujungnya lo yang cari-cari cewek lain di luar sana!" balasku jengkel.
"Andrew?" panggil sebuah suara tinggi. Aku menoleh mencari arah suara perempuan yang memanggilku. Begitu aku menoleh, perempuan itu tersenyum senang. "Ah, astaga! Beneran Andrew dong!!" perempuan itu langsung memelukku. "It's been so long, long, long time!!! Dan lo masih tetep ganteng aja, Drew."
Biar aku kenalkan. Perempuan ini adalah Charity Emmanuela-panggilannya Ella. Namanya rohani banget ya? Tapi jangan tanya kelakuannya. Dia pernah menikah, terus selingkuh sama sahabat suaminya, dan sekarang dia janda. Tapi percayalah, wajahnya tidak akan menunjukkan bahwa dia adalah seorang janda. Singkatnya, dia terlalu cantik untuk menjadi seorang janda.
"Hai, La," sapaku sambil memeluknya. Iya, aku memeluknya. Bagaimanapun juga, dia sahabatku. Di luar semua tingkah gilanya.
"Ini William kan?" tanyanya sambil menoleh William. "Masih sama ya kayak dulu juga."
Aku malah terkekeh mendengar ucapan Ella. William mungkin nggak tahu apa yang Ella katakan, intinya Ella pernah mengatakan ini kurang lebih: "tinggi nggak, putih nggak, cakep nggak. Tapi hobinya deketin cewek mulu?! Heran gue masih ada yang mau sama Hanoman to-be kayak dia!" Pastinya, William bakal kaget kalau denger itu.
"Permisi Dok," panggil dokter lain di samping Ella. Aku melihatnya, dia Marceline-perempuan yang menabrakku. Ella mengangguk pertanda mendengar. "Saya diminta Dokter Laura untuk hubungi Dokter. Ada yang perlu anestesi lokal di UGD." Tanpa banyak tingkah lagi, Ella langsung menuju UGD, dan meninggalkan aku, William sama Marceline di sini.
Aku memerhatikan perempuan di hadapanku ini. Rambutnya lepek, sepertinya belum keramas.
"Anda yang tadi tabrak saya kan?" tanyaku.
Marceline langsung membulatkan matanya, terkejut karena aku mengingatnya. "Anda yang tadi ceramahin saya nggak jelas itu kan?"
Aku tertawa renyah mendengar ucapannya yang mengejutkan itu. "Andrew. Senang berkenalan denganmu." Aku menjulurkan tanganku kepadanya. Dia membalasnya, dan tersenyum, "Marceline Irena. Biasa dipanggil Mercy." Oh, jadi huruf 'I' di namanya adalah Irena.
KAMU SEDANG MEMBACA
Summer Elegy
General FictionBagi Mercy, kebahagiaan itu hanya dua: 1. Bisa tidur dan makan tanpa diganggu. 2. Sergio Romanos. Perjuangannya untuk mendapatkan Sergio setelah bertahun-tahun berusaha akhirnya berhasil, dan kisah cintanya bersama Sergio adalah yang terbaik--menur...