Twelve

4.1K 458 8
                                    

Andrew

"Gue nggak abis pikir lo bawa-bawa anak kecil ini ke kampus hari ini," keluh Willy yang sedang menuntun Amel.

Hari ini aku ada di kampus setengah hari, lalu aku harus ke rumah sakit lagi untuk follow up hasil pemilihan direktur utama Rumah Sakit Effendi. Meski aku tahu pasti belum ada perkembangan yang signifikan, tapi aku tetap harus mengontrolnya. Beruntung hari ini tidak ada urusan ke pengadilan.

"Drew, ijazah dan lisensi praktek hukum gue kayaknya bukan untuk jadi baby sitter!"

"Lo ngeluh lagi, nggak akan gue ajak-ajak lagi ya Will!"

Amel terkekeh senang karena melihat Willy ku omeli. "Huu! Om Willy diomelin sama Papa lagi!!! Lasain!"

"Drew, anak lo ini ngeselinnya maksimal!"

Tanpa memedulikan Willy, aku langsung berjalan duluan meninggalkan gedung Fakultas Hukum. Semakin aku mendengar ocehannya, semakin lama juga aku menyelesaikan pekerjaanku hari ini.

"Papa... Amel mau itu..."

Suara lirih Amel yang melihat seseorang membawa gulali membuatnya ingin makan itu juga. Astaga, kenapa dia harus benar-benar seperti Lita?

Aku menggendong Amel lalu bertanya padanya, "Amel mau gulali?"

Amel mengangguk senang dengan senyuman riangnya.

Coba katakan padaku bagaimana caranya menolak permintaan anak kecil yang begitu tulus dia nyatakan kepadamu?

Aku pun berjalan menuju kafetaria yang menjual gulali.

"Drew! Lo ninggalin gue?!!" Willy meneriakiku ketika aku memutuskan untuk jalan sendirian tanpanya ke arah kafetaria.

Sesampainya di kafetaria, aku melihat sosok perempuan yang taka sing di mataku. Ingatanku masih dengan jelas mengenali siapa dirinya.

Marceline.

Dia terlihat sibuk dengan laptop putihnya, sambil menggunakan earphone untuk menyumbat telinganya. Tapi aku tidak melihat jari-jarinya sedang bergerak untuk mengetik sesuatu atau setidaknya melakukan sesuatu yang berguna dengan laptopnya.

Dari terakhir kali aku melihatnya, kini dia terlihat lebih kurus, dan pakaiannya makin tak terurus. Dia tidak terlihat seperti seorang residen spesialis, bahkan tidak akan ada yang menyadari bahwa Mercy adalah dokter aku yakin. Rambutnya kumal, matanya tidak cerah, aku bisa melihat bagian bawah matanya semakin hitam, bibirnya pucat. Jauh lebih baik ketika melihatnya mengenakan baju bedah dan snellinya.

Aku mendekatinya. "From the last time I saw you, kenapa sekarang lo tambah kacau?"

"Gue nggak kacau. Ini hari libur gue dari rumah sakit!" serunya balik dengan sigap saat aku mengomentari penampilannya. "Dan gue juga libur dari segala hal yang berbau 'perjodohan' politik rumah sakit Oma."

Aku mengangguk paham. "Terus karena lo libur hari ini, jadi lo bisa mengacaukan diri di kampus?"

"I haven't told you that my Grandma is in the house? Dia nggak ada di rumah sakit, dan kalau gue juga di rumah berarti gue harus ketemu Oma juga." Aku mendengar ucapannya seperti orang yang frustasi. "Well, can you please leave now? I'm watching my fairy tale right now."

Fairy tale?

Dia sedang menonton dongeng apaan? Maksudku, dia dua puluh enam tahun dan menonton dongeng bukanlah hal yang cocok untuk perempuan seusianya. Amel selalu memintaku untuk membacakannya dongeng-dongeng di malam hari ketika aku mampir ke rumah Mama. Setiap kali aku membacakan dongen untuk Amel, dia selalu memintaku untuk membacakan Sleeping Beauty.

Summer ElegyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang