Thirty Three

2.8K 337 3
                                    

Andrew

Adelaide sore ini sedikit lebih hangat dari pada hari sebelumnya. Pergantian dari musim semi ke musim panas, membuatku meninggalkan pakaian-pakaian tebal yang banyak masukan Mercy saat packing. Padahal aku sudah bilang, tidak memerlukan banyak jaket tebal, karena sebentar lagi akan musim panas. Tapi dia malah ngeyel. 

"Terus kamu di sana lagi ngapain?" tanya Mercy dari layar laptop. Sambungan Skype yang sudah berlangsung beberapa menit ini memperlihatkan kalau Mercy sedang berada di ruang istirahat residen. "Aku barusan selesai shift. Dan... Mau mandi sebentar lagi. Nggak ada kamu, aku di rumah jadi malas mandi." 

"Kamu kan emang males mandi," sahutku sekenanya sambil terkekeh. "Udara sedang memanas di sini. Aku nggak kuat harus pakai baju-baju yang panas. Kamu kenapa banyak banget masukin baju tebal sih?" 

"Lho, kamu di sana kan bukan cuma sehari-dua hari, atau sampai musim panas selesai doang! Selain musim panas, yang lainnya dingin, tahu! Kamu pikir aku nggak tahu?! Musim gugur mau berubah musim dingin apalagi!" 

"Iya, Sayangku, Cintaku. Tapi itu masih lama. Dan lagian, nggak perlu banyak-banyak mandi selama musim dingin. Wong nggak keringetan."

Mercy mendengus sebal dengan jawabanku, tapi detik berikutnya dia tertawa. Tak berapa lama, muncul Heru sambil memberikannya mie instan cup rasa kari. Kemudian Mercy meletakkan ponselnya di atas meja sambil mengarahkan kamera ponselnya ke wajahnya agar aku tetap bisa melihat aktivitasnya. 

"Bini lo makan mie mulu Drew!" seru Heru dengan suara nyaring. "Gue sampe bosen ngasih tahunya. Masih mending dia makan McD atau KFC, masih ada proteinnya. Lah mie instan? Cup lagi!!" 

"Ish!! Dasar tukang lapor!" balas Mercy. 

Aku terkekeh, tidak menghakiminya, tapi menatapnya dengan tatapan serius. "Marceline." Suaraku mendalam dan berat. 

"Iya, iya!" 

"I'm serious this time," kataku masih masih dengan intonasi dan penekanan yang sama. "Ketika aku menyuruhmu untuk tinggal di rumah Omamu selama aku di Adelaide, semua itu bukan tanpa alasan. Aku tahu kamu tidak akan makan dengan baik, dan tidak bisa mengurus dirimu dengan benar." Sebelum aku pergi, aku memberikan pilihan kepada Mercy untuk tinggal di rumah Omanya, atau tinggal sendiri di apartemen, dengan catatan kalau dia harus bisa menjaga dirinya dan makan dengan baik. "Aku sudah dengar dari Dhani juga kalau kamu sempat dirawat bukan karena terlalu banyak makan makanan instan?" 

Mercy menunjukkan muka serba salahnya. "Tapi..." 

"No more buts this time, Marceline." 

Baru saja aku selesai mengucapkan kata-kata mutiara untuk isteriku yang sangat bandel ini. Pintu apartemenku dibuka oleh Tiana, kekasih barunya Shawn, roommate sekaligus teman kuliahku di sini. Shawn memang seorang player, dan entah sudah berapa banyak perempuan yang lalu lalang di apartemen ini selama aku tinggal dengannya--tepatnya selama dua bulan terakhir. Satu hal yang belum aku sempat beritahukan ke Mercy adalah Shawn yang suka membawa perempuan. Karena selama ini, aku selalu meneleponnya saat malam, atau saat posisiku sudah di dalam kamar. 

Tapi kali ini, aku sedang berada di ruang tengah, dan Tiana yang sangat amat friendly ini pun langsung mencium pipiku saat masuk dan menyambutku. 

"Hola Andrew!" sapanya, "Aku datang untuk membuatkan mac and cheese hari ini. Ku harap kau tidak keberatan dengan mac and cheese." 

"Drew itu siapa? Kok cium-cium kamu? Genit banget sih?" tanpa ba-bi-bu, Mercy langsung menodongku dengan pertanyaan bertubi-tubi. "Kamu ngapain sama dia? Bajunya seksi banget? Kok bikin mac and cheese? Kamu kan--" 

"Mey, Dokter Dhani manggil. Katanya post-op satu pasien lu ada yang harus ditindak. Mending buruan" 

Mercy memberikan pertanda 'oke' kepada Heru dengan menggunakan telunjuk dan ibu jarinya membentuk 'o', lalu dia menoleh kembali kepadaku. "Tunggu aja besok Drew. Gue bakalan dateng ke sana! Tunggu aja!" 

Setelah mengatakan itu, dia memutuskan panggilan Skype. 

"Is that your wife?" tanya Tiana yang sekarang sedang merebus makaroni yang dibawanya. "She looks cute. Dia pasti kaget saat melihatku tadi bukan?" Tiana terkekeh dengan santai, seolah dia tahu bahwa Mercy akan terkejut saat melihatnya mencium pipiku. "Shawn yang minta aku untuk melakukan itu kepadamu. Maaf kalau membuat istrimu cemas. We just really want to tease you. Kau terlalu kaku." 

Aku tertawa renyah menanggapi selera humor mereka. "Kaku? Kalian harusnya melihatku saat aku di Belanda dulu. Mungkin aku seperti patung berjalan. Tidak ada ekspresi lain selain datar, datar dan datar." 

"Aku tidak mau mengenalmu kalau begitu." 

Shawn keluar dari persembunyiannya di dalam kamar, masih mengenakan kaos putih polos dan celana pendek yang pakainya. "Hi, sweetheart. Is there anything I missed?" tanya Shawn sambil mengecup kening Tiana. "Mission accomplish, huh?

Tiana mengangguk bangga. Dia langsung mengikat rambutnya untuk menyiapkan saus keju andalannya yang disukai oleh Shawn. "Of course. Istrinya Andrew langsung menodongnya dengan banyak pertanyaan tadi. I don't know what she said though, tapi pastinya pertanyaan yang membuat Andrew sedikit ketakutan." 

Aku memijit pelipisku karena bingung harus bagaimana menanggapi keisengan Shawn dan Tiana hari ini. Kalau tahu mereka akan melakukan begini, lebih baik aku tadi berdiam di kamar saja lebih lama dari pada harus berhadapan dengan Mercy yang marah. Maksudku, aku tidak masalah dengan hubungan jarak jauh begini--walaupun aku sendiri belum pernah mengalaminya. Tapi aku sungguh tidak keberatan dengan hubungan jarak jauh. 

Tapi sepertinya, Mercy agak sensitif dengan hubungan jarak jauh. 

Dia hanya pernah pacaran sekali dengan Sergio. Dan... kalian sudah tahu sendiri bagaimana ending hubungan mereka. Mungkin dari pandangan Mercy, Sergio saja yang sehari-harinya bisa dia lihat dan ketemu di rumah sakit, bisa mengkhianatinya. Apalagi jika kita berada di tempat yang berbeda dan jauh seperti ini? 

Tapi maksudku begini. Jangan samakan posisiku dan Sergio. Hubungan Sergio dan Mercy hanya sebatas pacaran. Sedangkan aku? Aku menikahinya. Aku pun memiliki prinsip sendiri dalam menjalani hubungan. Tidak akan mungkin melanggar prinsipku sendiri. 

"Apakah akan ada perang dunia ketiga dalam waktu dekat ini?" tanya Shawn kepadaku dengan tatapan khawatir. 

Aku mengangkat bahuku sambil menggelengkan kepalaku beberapa kali. "Entahlah. Terakhir kali dia meneleponku saat aku sedang mengobrol dengan Harper di kampus, Mercy mendiamiku dua hari. Tapi, tadi dia bilang agar aku diam di sini dan dia akan berada di sini besok." 

Tiana dan Shawn saling bertukar pandang, seolah mereka berpikir Mercy benar-benar akan datang ke Adelaide untuk mendatangiku dari Jakarta. 

"It'll be a big war then I guess," kata Tiana yang turut khawatir seperti Shawn. "Well, kau tahu sendiri, ketika perempuan sedang cemburu, atau perasaannya tidak tenang dia bisa berbuat apapun yang berada di luar batas logika orang waras, bukan Drew?" 

Shawn ikut mengangguk-anggukan kepalanya pertanda dia setuju dengan pernyataan yang diutarakan oleh Tiana. "Mercy bisa jadi sudah berada di depan apartemen besok pagi. Tidak akan ada yang tahu, Drew." Nada bicara Shawn dalam dan penuh penekanan, seolah besok bisa menjadi kiamat kecil bagiku. 

"Kalian berdua terlalu berlebihan. Lagi pula, ini sudah sore, dan di Jakarta juga begitu. Mercy juga memiliki banyak pekerjaan di sana. She's on her residency program dan jangan lupakan kalau dia mengambil spesialisasi bedah. Bagaimana mungkin dia bisa sampai ke sini besok pagi?" 

"Kita lihat saja besok," kata Shawn ringan, "But don't say that I haven't warned you, Drew. Kita sudah ingatkan tadi." 

Tiana mulai melempar senyum kecil kepadaku. "Well then..."  Tiana menyiapkan mac and cheese andalannya di piring, dan memberikan piring pertamanya kepadaku. "Enjoy this mac and chess while you can. Bisa jadi ini menjadi makanan terakhirmu, Drew," ucap Tiana sambil tertawa. 

Summer ElegyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang